Halaman

Sabtu, 17 Mei 2014

Di Balik Sikap Kritis Muhammadiyah

Makna Simbolik
Membaca judul berita di laman http://www.gebraknews.com Kamis, 15 Mei 2014 pukul 16:07 yaitu “PP Muhammadiyah Kecewa Berat dengan Hasil Pemilu 2014”, alenia pertama menjelaskan bahwa : Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai kualitas Pemilu Legislatif 2014 masih rendah. Menurut dia, hal itu ditandai dengan adanya praktik politik uang selama proses pemilu. Kita wajib prihatin, walau komentar sah-sah saja, wajar dan normal sebagai respon terhadap situasi nasional.

Komentar ini memang multitafsir. Namun jika kita menyimak berita di Republika, Jumat, 16 Mei 2014, berjudul “Suara terbanyak Didominasi Wajah Lama” fokus pada sub berita : “9. Hanafi Rais. (Partai Amanat Nasional) sebanyak 197.915 suara dari Dapil DI Yogyakarta. Hanafi adalah anak tertua mantan ketua MPR Amien Rais. Kemenangan Hanafi pada Pemilu 2014 ini sempat tersandung kasus penemuan uang Rp 510 juta di Gunung Kidul”. Republika menjaga perasaan dengan tidak menulis bahwa Prof. Dr. H. Amien Rais adalah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1995-2000. Jadi, PP Muhammadiyah sedang mawas diri, evaluasi diri, tahu diri atau “maling teriak maling”.

Apalagi, menurut Abdul, pemilu yang kualitasnya rendah dan ada unsur politik uang, akan menghasilkan anggota legislatif yang tidak kompeten, bahkan mungkin akan bermasalah secara moral.

Transformasi Keagamaan
Pesta demokrasi lima tahunan adalah hajad nasional, yang punya kerja adalah bangsa dan rakyat Indonesia. Semua rakyat, terlebih yang sudah mempunyai hak pilih, wajib ikut berperan serta. Kita akui lebih banyak malingnya daripada polisinya, atau polisi selaku kalah selangkah dengan kinerja maling.

Kita akui telah terjadi transformasi keagamaan pada warga Muhammadiyah, karena  perubahan struktur lingkungan maupun perubahan latar pendidikan para pengurusnya. Ketika pucuk pimpinannya berlatar belakang pesantren dan bergelar Kyai, pemahaman agamanya bersifat akomodatif. Ketika petingginya berasal dari pendidikan formal dan profesi birokrat, pemahaman agamanya menjadi formalistik.

Pasca Reformasi, Muhammadiyah terjebak arus syahwat politik, terlebih dengan dibentuknya Partai Amanat Nasional. Konflik internal semakin kental, terbukti dengan pengalaman Dr. Abdul Mu’ti menulis : Beberapa hari menjelang pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, saya menerima puluhan short message services (SMS) dari berbagai kalangan internal Muhammadiyah yang mengharapkan agar “tradisi” Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh kader Muhammadiyah tetap dapat dipelihara dan diperjuangkan. Kepada semua pengirim SMS saya sampaikan bahwa kewenangan penentuan jabatan menteri ada sepenuhnya di tangan presiden. Bahkan, kepada mereka yang saya kenal secara pribadi, saya sampaikan dengan nada setengah mengingatkan: tidak etis apabila Muhammadiyah merekomendasikan nama menteri sementara pada saat pemilihan presiden, Muhammadiyah mendukung calon lain – yang ternyata kalah.

Ketika presiden mengumumkan nama-nama menteri KIB II secara resmi, saya menerima SMS dengan nada berbeda-beda. Sebagian besar bernada marah dan pesimistis. ”Gara-gara berpolitik, sekarang Muhammadiyah kena batunya.

Gigit jari tidak mendapatkan satu pun jatah menteri. “Kecian deh lu”. Demikianlah antara lain SMS yang bernada marah. SMS yang bernada pesimistis antara lain berbunyi: ”Setelah Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh kader-kader NU, tamatlah riwayat pendidikan Muhammadiyah.” Tetapi, selain mereka yang menumpahkan kemarahan dan pesimisme, saya menerima juga SMS yang ksatria dan optimistis. ”Ketika Mendiknas dan Menag tidak lagi dipegang oleh kader Muhammadiyah, kini saatnya kita bangkit, tegak berdiri di luar pemerintahan. Muhammadiyah kini bisa bebas merdeka.”

Sebagian besar intelektual dan tokoh Muhammadiyah memahami bahwa kelahiran Muhammadiyah dilandasi oleh firman Allah Surat Ali Imran (3): 104. ”Ayat Muhammadiyah” tersebut mengandung tiga perintah. Pertama, perintah untuk membentuk organisasi yang solid sebagaimana dipahami dari lafadz ”ummat”Kedua, perintah untuk berdakwah, mengajak manusia kepada jalan kebajikan (yad’u ila al-khair). Ketiga, perintah untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar; memerintahkan kebenaran dan mencegah kejahatan. (sumber : http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2011_10_01_archive.html)

Langkah Bijak Dan Bajik
De facto calon presiden (capres) dari parpol Islam kalah pamor, kalah kesohor dibandingkan capres lainnya. Bukan berarti umat Islam, patah arang. Sehingga dalam pilpres 9 Juli 2014 hanya sekedar memenuhi kewajiban sebagai warga negara dan tidak golput.

Masih ada waktu dan kesempatan bagi umat Islam secara individu maupun komunitas, untuk mengkerucutkan pilihan, untuk memantapkan diri menentukan pilihan. Muhammadiyah jangan sampai mengulang tindakan dan kesalahan yang sama secara politis, wajib back to basic ke ”Ayat Muhammadiyah” [HaeN].
-------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar