Makna Simbolik
Membaca judul berita di laman http://www.gebraknews.com Kamis, 15 Mei 2014
pukul 16:07 yaitu “PP Muhammadiyah Kecewa Berat
dengan Hasil Pemilu 2014”, alenia pertama menjelaskan
bahwa : Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai kualitas
Pemilu Legislatif 2014 masih rendah. Menurut dia, hal itu ditandai dengan
adanya praktik politik uang selama proses pemilu. Kita wajib prihatin, walau
komentar sah-sah saja, wajar dan normal sebagai respon terhadap situasi
nasional.
Komentar ini memang multitafsir. Namun jika kita menyimak berita di
Republika, Jumat, 16 Mei 2014, berjudul “Suara terbanyak Didominasi Wajah
Lama” fokus pada sub berita : “9. Hanafi Rais. (Partai Amanat Nasional)
sebanyak 197.915 suara dari Dapil DI Yogyakarta. Hanafi adalah anak tertua
mantan ketua MPR Amien Rais. Kemenangan Hanafi pada Pemilu 2014 ini sempat
tersandung kasus penemuan uang Rp 510 juta di Gunung Kidul”. Republika menjaga
perasaan dengan tidak menulis bahwa Prof. Dr. H. Amien Rais adalah mantan Ketua
Umum PP Muhammadiyah periode 1995-2000. Jadi, PP Muhammadiyah sedang mawas
diri, evaluasi diri, tahu diri atau “maling teriak maling”.
Apalagi, menurut Abdul, pemilu yang kualitasnya rendah dan ada unsur
politik uang, akan menghasilkan anggota legislatif yang tidak kompeten, bahkan
mungkin akan bermasalah secara moral.
Transformasi Keagamaan
Pesta demokrasi lima tahunan adalah hajad nasional, yang punya kerja adalah
bangsa dan rakyat Indonesia. Semua rakyat, terlebih yang sudah mempunyai hak
pilih, wajib ikut berperan serta. Kita akui lebih banyak malingnya daripada
polisinya, atau polisi selaku kalah selangkah dengan kinerja maling.
Kita akui telah terjadi transformasi keagamaan pada warga Muhammadiyah,
karena perubahan struktur lingkungan
maupun perubahan latar pendidikan para pengurusnya. Ketika pucuk pimpinannya
berlatar belakang pesantren dan bergelar Kyai, pemahaman agamanya bersifat
akomodatif. Ketika petingginya berasal dari pendidikan formal dan profesi
birokrat, pemahaman agamanya menjadi formalistik.
Pasca Reformasi, Muhammadiyah terjebak arus syahwat politik, terlebih
dengan dibentuknya Partai Amanat Nasional. Konflik internal semakin kental,
terbukti dengan pengalaman Dr. Abdul Mu’ti menulis : Beberapa hari menjelang pengumuman Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) II, saya menerima puluhan short message
services (SMS) dari berbagai kalangan internal Muhammadiyah yang
mengharapkan agar “tradisi” Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh kader
Muhammadiyah tetap dapat dipelihara dan diperjuangkan. Kepada semua
pengirim SMS saya sampaikan bahwa kewenangan penentuan jabatan
menteri ada sepenuhnya di tangan presiden. Bahkan, kepada mereka yang saya
kenal secara pribadi, saya sampaikan dengan nada setengah mengingatkan: tidak
etis apabila Muhammadiyah merekomendasikan nama menteri sementara pada saat
pemilihan presiden, Muhammadiyah mendukung calon lain – yang ternyata kalah.
Ketika presiden mengumumkan nama-nama menteri KIB
II secara resmi, saya menerima SMS dengan nada
berbeda-beda. Sebagian besar bernada marah dan pesimistis. ”Gara-gara
berpolitik, sekarang Muhammadiyah kena batunya”.
Gigit jari tidak mendapatkan satu pun jatah
menteri. “Kecian deh lu”. Demikianlah antara lain SMS yang bernada
marah. SMS yang bernada pesimistis antara lain berbunyi: ”Setelah
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh kader-kader NU,
tamatlah riwayat pendidikan Muhammadiyah.” Tetapi, selain mereka yang
menumpahkan kemarahan dan pesimisme, saya menerima juga SMS yang
ksatria dan optimistis. ”Ketika Mendiknas dan Menag tidak lagi dipegang oleh
kader Muhammadiyah, kini saatnya kita bangkit, tegak berdiri di luar
pemerintahan. Muhammadiyah kini bisa bebas merdeka.”
Sebagian besar intelektual dan tokoh Muhammadiyah memahami bahwa kelahiran
Muhammadiyah dilandasi oleh firman Allah
Surat Ali Imran (3): 104. ”Ayat Muhammadiyah” tersebut mengandung tiga
perintah. Pertama, perintah untuk membentuk organisasi yang solid
sebagaimana dipahami dari lafadz ”ummat”. Kedua, perintah untuk berdakwah, mengajak manusia kepada
jalan kebajikan (yad’u ila al-khair). Ketiga, perintah untuk menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar; memerintahkan kebenaran dan mencegah kejahatan. (sumber : http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2011_10_01_archive.html)
Langkah Bijak Dan Bajik
De facto calon presiden (capres) dari
parpol Islam kalah pamor, kalah kesohor dibandingkan capres lainnya. Bukan
berarti umat Islam, patah arang. Sehingga dalam pilpres 9 Juli 2014 hanya
sekedar memenuhi kewajiban sebagai warga negara dan tidak golput.
Masih ada waktu dan kesempatan bagi umat Islam secara individu maupun
komunitas, untuk mengkerucutkan pilihan, untuk memantapkan diri menentukan
pilihan. Muhammadiyah jangan sampai mengulang tindakan dan kesalahan yang sama
secara politis, wajib back to basic ke ”Ayat Muhammadiyah” [HaeN].
-------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar