Jumat, 19/06/2009
03:33
BEREBUT TAKHTA ISTANA
vs MEREBUT HATI RAKYAT
herwin nur
BEREBUT TAKHTA ISTANA
vs MEREBUT HATI RAKYAT
Kalau caleg dalam
Pileg 2009 bingung dirinya tak dikenal di dapilnya, jangankan di dapil,
jangan-jangan di lingkungan tempat tinggalnya kurang kesohor. Seperti
masyarakat perkotaan, atau di kompleks perumahan elite, meraka hanya kenal
wajah tetapi tak kenal nama.
Bahkan pernah terjadi
dalam suatu rapat departemen, mereka baru tahu kalau satu kompleks. Ada yang
menarik dalam pileg 2009, dua caleg dari RW saya bisa melaju karena modal
minimalnya pernah jadi Ketua RT dan satunya pernah jadi Ketua RW. Walhasil
apapun kendaraan parpolnya, secara matemathis mereka melenggang ke kursi wakil
rakyat, DPRD provinsi.
Fenomena ini
menggambarkan bahwa wakil rakyat sebaiknya bukan kader parpol. Celakanya,
sebagai negara kaya idiologi, penuh dengan politisi kambuhan, serta sesak
dengan politikus papan nama maka tak pelak parpol merupakan pabrik
penyelenggara negara. Bahkan warna parpol bisa mempengaruhi dan menentukan
nasib seseorang. Takdir sebagai hak prerogratif Allah, nasib tergantung kadar
amal dan perbuatan manusia. Artinya manusia masih mempunyai otoritas mengelola
nasibnya. Pilpres 2009 memberi nuansa dan pencerahan, bukan penggerahan, dari 3
kandidat pasangan capres dan cawapres, terdapat nama Boediono sebagai cawapres bukan
dari unsur parpol, apalagai ketua umum. Ketiga pasang RI-1 dan RI-2 total
kopral sudah menusantara.
Bagi pembaca setia
media cetak, pendengar fanatik radio, sisanya pemirsa yang kelebihan waktu
gemar melototi media kaca, jelas akan tahu siapa peragu (kata orang), siapa
yang merasa bisa serba lebih, tukang protes dan kritik yang membanggakan masa
lampau (secara langsung menunjukkan klas dan kadarnya), serta sampai pendamping
yang modal jenderal.
TANPA IMAN JADI
HITLER
Pos Kota, Sabtu 13
Juni 2009, dengan cerdas wapres Jusuf Kalla (JK) yang juga capres dalam pilpres
2009 berujar bahwa keimanan itu perlu karena bisa saja pemimpin kuat tapi tidak
memiliki iman maka akan menjadi Hitler. Pengetahuan JK tentang Perang Dunia II
cukup hafal, terutama pada tokoh Nazi. Keimanan JK cukup tebal dan handal,
terutama ketika masih bernama Muhammad Jusuf Kalla. Entah sejak kapan nama
depannya, karena berat nama, jadi ditanggalkan dan ditinggalkan. Akhirnya yang
dominan nama belakangnya yaitu Kalla.
Di telatah tanah
Jawa, Betara Kalla harus diruwat. Coba tanya ke Gus Dur. Mengapa JK mengambil
sampel Hitler, mungkin karena mempunyai persamaan energi negatifnya. Perbedaan
mencolok yaitu Hitler sebagai penguasa, sedangkan JK sebagai pengusaha lokal.
BLT (mBesok Lu Takpilih) alias Bantuan Langsung Tunai, menurut rumus Ratu Wong
Cilik (tuwolik), yaitu dia pikir dia pintar, merendahkan martabat manusia.
Apa bedanya dengan
BLT dan pembagian sembako lima tahun sekali oleh tuwolik dalam rangkaian
kampanye pilpres. Artinya, untuk berbuat banyak untuk wong cilik harus jadi
presiden. Kalau pembusukan mulai dari kepalanya, rakyat percaya. mBesok kata
wong Jawa, konotasinya kapan-kapan, kalau tidak mbesok habis lebaran, ya
mbesoknya lagi nek kelingan (kalau ingat). Sejak 2004 memang ada pemeo untuk
mBak Mega yaitu sing wis malih ora milih-milih; sing arep milih malah
molah-malih.
MODUS OPERANDI
KAMPANYE
Pandai-pandainya
media massa mengkemas dan menyajikan olah-polah capres dan cawapres. Dalam
peliputan kampanye lapangan, aksi jalanan sampai sajian langsung acara dialog,
diskusi dan debat dengan format betapa mereka berebut takhta istana. Mereka
mempunyai tujuan yang sama, tetapi dengan motif dan latar belakang yang tak
sama.
Elektabilitas atau
entah apa namanya, mereka yakin dengan peta dan rekaman jejak ke istana. Modal
pengalaman mereka nyaris tak jauh beda. Tingkat emosi mereka, dalam kondisi
berebut, ingat ketika rakyat ngalap berkah dari gunungan sekaten, atau
bagaimana mereka setor nyawa demi zakat (ingat Detasemen Pasuruan 21) atau aksi
panggung pendukung, penggembira pasangan capres dan cawapres. Paling
hingar-bingar, dan tentunta peran batin, adalah tim sukses yang notabene
memperubutkan jabatan pembantu presiden. Tim sukses penuh dengan pemakar dan
pemikir dengan teori akademis, strategi lapangan, skenario di atas kertas,
pengaruh lingkungan dan cuaca, taktik pengerahan masa sampai anggaran tak
teranggarkan.
Tim sukses ibarat
melempar boomerang, bisa senjata makan tuan atau sebaliknya mensukseskan diri
sendiri. Sayangnya, seribu kali sayang, tepatnya apakah rakyat menonton.
Terlebih ada sajian alternatif yang lebih manusiawi, tak perlu mikir dan
informatif. Komunitas penonton pada umumnya sudah tahu siapa yang bicara, bukan
pada apa yang akan dibicarakannya. Tiap saat mereka tampil seadanya sampai yang
pakai metode hafalan. Hiburan alternatif, yang dibutuhkan rakyat sangat
sederhana, mulai dari film kartun, pertandingan olahraga mancanegara, wisata
kuliner, rumah idaman, otomotif (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar