Halaman

Sabtu, 24 Mei 2014

BEREBUT TAKHTA ISTANA vs MEREBUT HATI RAKYAT

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 19/06/2009 03:33
BEREBUT TAKHTA ISTANA vs MEREBUT HATI RAKYAT
herwin nur
BEREBUT TAKHTA ISTANA vs MEREBUT HATI RAKYAT
Kalau caleg dalam Pileg 2009 bingung dirinya tak dikenal di dapilnya, jangankan di dapil, jangan-jangan di lingkungan tempat tinggalnya kurang kesohor. Seperti masyarakat perkotaan, atau di kompleks perumahan elite, meraka hanya kenal wajah tetapi tak kenal nama.

Bahkan pernah terjadi dalam suatu rapat departemen, mereka baru tahu kalau satu kompleks. Ada yang menarik dalam pileg 2009, dua caleg dari RW saya bisa melaju karena modal minimalnya pernah jadi Ketua RT dan satunya pernah jadi Ketua RW. Walhasil apapun kendaraan parpolnya, secara matemathis mereka melenggang ke kursi wakil rakyat, DPRD provinsi.

Fenomena ini menggambarkan bahwa wakil rakyat sebaiknya bukan kader parpol. Celakanya, sebagai negara kaya idiologi, penuh dengan politisi kambuhan, serta sesak dengan politikus papan nama maka tak pelak parpol merupakan pabrik penyelenggara negara. Bahkan warna parpol bisa mempengaruhi dan menentukan nasib seseorang. Takdir sebagai hak prerogratif Allah, nasib tergantung kadar amal dan perbuatan manusia. Artinya manusia masih mempunyai otoritas mengelola nasibnya. Pilpres 2009 memberi nuansa dan pencerahan, bukan penggerahan, dari 3 kandidat pasangan capres dan cawapres, terdapat nama Boediono sebagai cawapres bukan dari unsur parpol, apalagai ketua umum. Ketiga pasang RI-1 dan RI-2 total kopral sudah menusantara.

Bagi pembaca setia media cetak, pendengar fanatik radio, sisanya pemirsa yang kelebihan waktu gemar melototi media kaca, jelas akan tahu siapa peragu (kata orang), siapa yang merasa bisa serba lebih, tukang protes dan kritik yang membanggakan masa lampau (secara langsung menunjukkan klas dan kadarnya), serta sampai pendamping yang modal jenderal.

TANPA IMAN JADI HITLER
Pos Kota, Sabtu 13 Juni 2009, dengan cerdas wapres Jusuf Kalla (JK) yang juga capres dalam pilpres 2009 berujar bahwa keimanan itu perlu karena bisa saja pemimpin kuat tapi tidak memiliki iman maka akan menjadi Hitler. Pengetahuan JK tentang Perang Dunia II cukup hafal, terutama pada tokoh Nazi. Keimanan JK cukup tebal dan handal, terutama ketika masih bernama Muhammad Jusuf Kalla. Entah sejak kapan nama depannya, karena berat nama, jadi ditanggalkan dan ditinggalkan. Akhirnya yang dominan nama belakangnya yaitu Kalla.

Di telatah tanah Jawa, Betara Kalla harus diruwat. Coba tanya ke Gus Dur. Mengapa JK mengambil sampel Hitler, mungkin karena mempunyai persamaan energi negatifnya. Perbedaan mencolok yaitu Hitler sebagai penguasa, sedangkan JK sebagai pengusaha lokal. BLT (mBesok Lu Takpilih) alias Bantuan Langsung Tunai, menurut rumus Ratu Wong Cilik (tuwolik), yaitu dia pikir dia pintar, merendahkan martabat manusia.

Apa bedanya dengan BLT dan pembagian sembako lima tahun sekali oleh tuwolik dalam rangkaian kampanye pilpres. Artinya, untuk berbuat banyak untuk wong cilik harus jadi presiden. Kalau pembusukan mulai dari kepalanya, rakyat percaya. mBesok kata wong Jawa, konotasinya kapan-kapan, kalau tidak mbesok habis lebaran, ya mbesoknya lagi nek kelingan (kalau ingat). Sejak 2004 memang ada pemeo untuk mBak Mega yaitu sing wis malih ora milih-milih; sing arep milih malah molah-malih.

MODUS OPERANDI KAMPANYE
Pandai-pandainya media massa mengkemas dan menyajikan olah-polah capres dan cawapres. Dalam peliputan kampanye lapangan, aksi jalanan sampai sajian langsung acara dialog, diskusi dan debat dengan format betapa mereka berebut takhta istana. Mereka mempunyai tujuan yang sama, tetapi dengan motif dan latar belakang yang tak sama.

Elektabilitas atau entah apa namanya, mereka yakin dengan peta dan rekaman jejak ke istana. Modal pengalaman mereka nyaris tak jauh beda. Tingkat emosi mereka, dalam kondisi berebut, ingat ketika rakyat ngalap berkah dari gunungan sekaten, atau bagaimana mereka setor nyawa demi zakat (ingat Detasemen Pasuruan 21) atau aksi panggung pendukung, penggembira pasangan capres dan cawapres. Paling hingar-bingar, dan tentunta peran batin, adalah tim sukses yang notabene memperubutkan jabatan pembantu presiden. Tim sukses penuh dengan pemakar dan pemikir dengan teori akademis, strategi lapangan, skenario di atas kertas, pengaruh lingkungan dan cuaca, taktik pengerahan masa sampai anggaran tak teranggarkan.


Tim sukses ibarat melempar boomerang, bisa senjata makan tuan atau sebaliknya mensukseskan diri sendiri. Sayangnya, seribu kali sayang, tepatnya apakah rakyat menonton. Terlebih ada sajian alternatif yang lebih manusiawi, tak perlu mikir dan informatif. Komunitas penonton pada umumnya sudah tahu siapa yang bicara, bukan pada apa yang akan dibicarakannya. Tiap saat mereka tampil seadanya sampai yang pakai metode hafalan. Hiburan alternatif, yang dibutuhkan rakyat sangat sederhana, mulai dari film kartun, pertandingan olahraga mancanegara, wisata kuliner, rumah idaman, otomotif (hn).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar