Setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meski harus
melalui lika-liku yang sangat tajam, dukungan dari Partai Amanat Nasional
(PAN), bergabunglah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk mendukung pencapresan
Prabowo Subianto. Dukungan terhadap jago dari Partai Gerindra tersebut oleh
Presiden PKS Anis Matta disebut sebagai aspirasi dari kaum muslim di Indonesia.
“Prabowo didukung oleh tiga partai Islam, artinya hal
tersebut telah mewakili aspirasi umat dan ormas Islam,” kata Anis Matta di
Kantor DPP PKS, Jln TB Simatupang, Jakara, Sabtu, (17/5/2014). (diolah dari sumber http :// news.metrotvnews.com/ tanggal 17 Mei 2014).
Wajar, persaingan bebas di panggung politik, orang sulit menentukan mana kawan mana lawan, orang
susah memilih mana sekutu mana seteru, orang rumit memilah mana sahabat mana
pengkhianat, orang muskil menyaring mana suara menghujat mana suara menjilat, karena
manusia mengulang kata iblis : “saya lebih baik”, lebih bisa, lebih layak,
lebih pantas, lebih cerdas dari orang lain.
Namun jika kalah sebelum tanding, jangan mudah main
sanding, main banding mengatasnamakan orang lain agar nampak ikut menang. Asumsi
politis ini malah membuktikan betapa mencampuradukkan politik dengan agama,
atau menjual agama untuk tujuan politik seolah sebagai hal yang wajar.
Regenerasi
16 tahun Reformasi, pemain
lama masih betah di panggung politik atau bermain di balik layar sebagai
dalang. Generasi muda, tokoh muda politik hanya jadi penggembira. Ada yang
gugur sebelum bertempur karena terkontaminasi penyakit politik, yaitu jika
sedang berkuasa ingin cepat kaya, paling tidak menggunakan ilmu aji mumpung.
Pasca pemilu legislatif 9
April 2014, parpol Islam bukannya merapatkan barisan, malah tanpa komando dan
koordinasi melakukan gerakan selamatkan diri masing-masing. Ataukah karena tidak
ada korelasi pasti antara parpol Islam dengan anggotanya. Ataukah karena ada
niatan dari pihak tertentu agar kolom agama dihilangkan dari E-KTP.
Awam memahami bahwa koalisi
parpol Islam menghadapi pilpres 9 Juli 2014, di atas kertas pun sebagai hal
yang mustahail, karena memperebutkan kursi yang sama. Internal parpol Islam pun
diwarnai persaingan secara sistematis, masif dan berkelanjutan.
Pernyataan
Semu
Memang
perjuangan umat Islam akan lebih berdaya guna dan berhasil guna melalui wadah
formal, resmi, strultural dan berskala nasional. Mengandalkan ormas Islam,
parpol Islam, MUI, ICMI atau apapun bentuknya, umat Islam tidak bisa bergerak
bebas. Mereka terkungkung oleh jabatan formal dalam periode waktu tertentu dan
lebih dominan berinteraksi dengan pemerintah atau penyelenggara negara daripada
kontrak dengan rakyat atau umat Islam.
Negara
sebagai organisasi besar, perusahaan besar, rakyat sebagai anggota pasif
sehingga posisinya hanya sebagai obyek, bukan subyek. Terbukti, pendekatan ke
rakyat hanya dilakukan saat kampanye pilkada maupun pemilu.
Mengatasnamakan
umat Islam untuk kepentingan politik merupakan pernyataan semu. Urusan agama
Islam termasuk urusan berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat. Tidak menempatkan urusan negara sebagai tujuan utama. Politisi
Islam jangan sampai terjebak dogma
“berkuasa untuk memimpin”. Jangan sampai terulang fakta “karena nila setitik
rusak susu separpol”.
Antara umat Islam dengan wadah formal,
terkadang ada batas jelas dan tegas. Banyak umat Islam yang berjuang membela agama Allah
secara senyap, mandiri, tekun, cerdas tanpa tergantung serta tidak terikat
waktu dan tempat.
Kontribusi,
kiprah dan kinerja umat Islam berbasis budaya lokal, dengan menerapkan asas
pendidikan Ki Hajar Dewantara yaitu “ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, tut wuri handayani”, yang mungkin kemanfaatannya dirasakan setiap
saat dan menjangkau lingkungan nyata[HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar