Halaman

Jumat, 23 Mei 2014

Ketika Parpol Islam Mengalami Gangguan Orientasi Politik

Setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meski harus melalui lika-liku yang sangat tajam, dukungan dari Partai Amanat Nasional (PAN), bergabunglah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk mendukung pencapresan Prabowo Subianto. Dukungan terhadap jago dari Partai Gerindra tersebut oleh Presiden PKS Anis Matta disebut sebagai aspirasi dari kaum muslim di Indonesia.

“Prabowo didukung oleh tiga partai Islam, artinya hal tersebut telah mewakili aspirasi umat dan ormas Islam,” kata Anis Matta di Kantor DPP PKS, Jln TB Simatupang, Jakara, Sabtu, (17/5/2014). (diolah dari sumber http :// news.metrotvnews.com/ tanggal 17 Mei 2014).

Wajar, persaingan bebas di panggung politik, orang  sulit menentukan mana kawan mana lawan, orang susah memilih mana sekutu mana seteru, orang rumit memilah mana sahabat mana pengkhianat, orang muskil menyaring mana suara menghujat mana suara menjilat, karena manusia mengulang kata iblis : “saya lebih baik”, lebih bisa, lebih layak, lebih pantas, lebih cerdas dari orang lain.

Namun jika kalah sebelum tanding, jangan mudah main sanding, main banding mengatasnamakan orang lain agar nampak ikut menang. Asumsi politis ini malah membuktikan betapa mencampuradukkan politik dengan agama, atau menjual agama untuk tujuan politik seolah sebagai hal yang wajar.

Regenerasi
16 tahun Reformasi, pemain lama masih betah di panggung politik atau bermain di balik layar sebagai dalang. Generasi muda, tokoh muda politik hanya jadi penggembira. Ada yang gugur sebelum bertempur karena terkontaminasi penyakit politik, yaitu jika sedang berkuasa ingin cepat kaya, paling tidak menggunakan ilmu aji mumpung.

Pasca pemilu legislatif 9 April 2014, parpol Islam bukannya merapatkan barisan, malah tanpa komando dan koordinasi melakukan gerakan selamatkan diri masing-masing. Ataukah karena tidak ada korelasi pasti antara parpol Islam dengan anggotanya. Ataukah karena ada niatan dari pihak tertentu agar kolom agama dihilangkan dari E-KTP.

Awam memahami bahwa koalisi parpol Islam menghadapi pilpres 9 Juli 2014, di atas kertas pun sebagai hal yang mustahail, karena memperebutkan kursi yang sama. Internal parpol Islam pun diwarnai persaingan secara sistematis, masif dan berkelanjutan.

Pernyataan Semu
Memang perjuangan umat Islam akan lebih berdaya guna dan berhasil guna melalui wadah formal, resmi, strultural dan berskala nasional. Mengandalkan ormas Islam, parpol Islam, MUI, ICMI atau apapun bentuknya, umat Islam tidak bisa bergerak bebas. Mereka terkungkung oleh jabatan formal dalam periode waktu tertentu dan lebih dominan berinteraksi dengan pemerintah atau penyelenggara negara daripada kontrak dengan rakyat atau umat Islam.

Negara sebagai organisasi besar, perusahaan besar, rakyat sebagai anggota pasif sehingga posisinya hanya sebagai obyek, bukan subyek. Terbukti, pendekatan ke rakyat hanya dilakukan saat kampanye pilkada maupun pemilu.

Mengatasnamakan umat Islam untuk kepentingan politik merupakan pernyataan semu. Urusan agama Islam  termasuk urusan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tidak menempatkan urusan negara sebagai tujuan utama. Politisi  Islam jangan sampai terjebak dogma “berkuasa untuk memimpin”. Jangan sampai terulang fakta “karena nila setitik rusak susu separpol”.

 Antara umat Islam dengan wadah formal, terkadang ada batas jelas dan tegas. Banyak umat Islam yang berjuang membela agama Allah secara senyap, mandiri, tekun, cerdas tanpa tergantung serta tidak terikat waktu dan tempat.


Kontribusi, kiprah dan kinerja umat Islam berbasis budaya lokal, dengan menerapkan asas pendidikan Ki Hajar Dewantara yaitu “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, yang mungkin kemanfaatannya dirasakan setiap saat dan menjangkau lingkungan nyata[HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar