wibawa
negara vs nasionalisme pribumi
Hukum keseimbangan menyebutkan
bahwasanya :
Pertama, barangsiapa dengan sengaja semakin meninggalkan
akar rumput, rakyat papan bawah, demi kejar, raih nikmat dunia, maka akan
berbanding lurus dengan lunturnya nilai-nilai Pancasila.
Kedua, barangsiapa dengan dalih menjaga wibawa negara di
mata negara paling bersahabat, maka dengan aneka pasal mégatéga akan menjadikan
kesenjangan ideologi malah menjadi acuan utama.
Rakyat bersyukur karena pilihan dan
pilihannya semanakin mengkerucut, dengan adanya modus operandi penguasa malah
semakin mendekatkan diri dengan Allah swt. Ibarat naik bisa kota di ibukota
NKRI atau ibukota provinsi, yang mana dimana, sang sopir karena uber setoran,
saling berebut penumpang. Bahkan dengan satu perusahaan.
Satu kaki penumpang baru masuk satu,
langsung bis tancap gas. Bis sudah sarat penumpang, tetap dijejali. Itu doeloe,
sebelum angkutan online belum ada. Saat itu, angkutan umum semisal bis
kota (sebut saja metro mini di Jakarta) dengan fasilitas full doa.
Sang sopir di periode 2014-2019,
tentunya tidak sekedar ugal-ugalan bak sopir maut metro mini. Tidak sekedar
membahayakan penumpang. Tapi sudah membahayakan pengguna jalan atau bahkan
masyarakat sekitar jalan.
Jika untuk mendapatkan bintang jasa
perang sudah susah, karena tidak ada konflik atau medan perang. Bisa direkayasa,
sehingga aparat pertahanan dan keamanan masih mendapat ajang permainan.
Aroma irama daya juang ideologis
penguasa sudah tidak memperhitungkan seberapa jauh pengorbanan rakyat atau
seberapa besar rakyat akan dikorbankan.
Antara penjilat dan/atau penghujat,
merapatkan barisan menjadi korporasi penebar, penabur fitnah dunia. Merekaya ujar
kebencian sebagai dalih untuk memasukkan unsur asing sebagai perpanjangan
tangan atau bantuan dengan imbal balik menjual negara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar