dosa
politik vs maaf politik
Di éra mégatéga ini banyak adegan,
acara, atraksi manusia politik yang memalukan dan memilukan. Tak masalah,
karena ybs adem-ayem. Mengapa malah kita yang meradang.
Mau meradang, hukum saja tak mampu
menjangkau pihak yang patut diduga melakukan tindak pidana politik. Tata niaga
politik Nusantara sedemikian pelik, mbulet dan tumpang sari. Pelakunya
dari yang modal otot, tenaga, dengkul, okol dan mereka yang merasa serba
bisa.
Sajian politik jelang pilkada
serentak 2018, semakin menampilkan aneka menu cepat saji, cepat bosan. Spesialis
menerima pesanan dari pihak manapun dengan timbal balik versi barter politik.
Bukannya rakyat tak mau tahu dengan
modus penguasa. Rakyat masih menghargai dengan kekuasaan legitimet, yang sedang
berjalan. Pendongkel, perongrong martabat negara karena mereka kurang puas
dengan perolehan balas jasa, balas budi.
Pengampunan pajak kepada pengemplang
pajak berbanding lurus dengan tobat politik secara semu. Kamus politik dan
bahasa politik tidak menganal adanya dosa politik, maaf politik apalagi tobat
politik.
Manusia politik merasa apa yang
dilakukan sebagai pengorbanan agar bangsa ini tetap eksis. Akan lebih merasa
berharga jika mereka yang memimpin. Warisan kekuasaan formal tetap mengalir ke
trahnya, Rezeki politik tetap mengucur ke pundi-pundinya. Kalau tidak terjadi
akan menghiba : ”Pundi mbah . . “. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar