penuhi
kewajiban vs perbanyak citra diri
Profesi tukang becak tergerus oleh
zaman. Tergusur dari jalan raya yang penuh persaingan antar angkutan umum dan
penguna jalan lainnya. Becak minggir masuk kompleks perumahan. Ibu rumah tangga
pulang belanja, menjadi pelanggan setia. Ibu dengan beberapa anak kecil, lebih
pilih naik becak daripada naik ojek.
Walau kehidupan kalangan abang
becak, tukang becak nyaris tak tersentuh peradaban politik Nusantara, bukan
serta merta mereka anti-Pancasila.
Sifat serba sederhana yang
menjadikan mereka bisa melakoni kehiduapnnya. Bukannya tanpa cita-cita.
Bukannya tak menginginkan perubahan.
Dengan modal dengkul dan daya kayuh,
tenaga plus ototnya, bukannya tak kuat menanjak, mengikuti tantangan kehidupan.
Hari demi hari, lehidupan titipikal dilakoni tanpa pamrih. Anak isteri,
keluarga makan sehari sekali sudah bersyukur.
Lagu bertemakan abang becak semakin
meneguhkan eksistensi, jati diri sosok tukang becak. Namun keberuntungan si
pengayuh roda tiga, mendapat persaingan dari becak motor sampai ojek. Ojekpun
seperti kalah wibawa dengan gojek. Itulah kehidupan yang tidak hanya siap
kerja, tetapi juga siap tanding. Kalah menang bukan ukuran. Semua sudah sesuai
dengan takaran masing-masing.
Model kayuh kaki, melahirkan
odong-odong. Memperkuat otot kaki, bisa dengan memanfaatkan temuan teknologi
olahraga statis.
Kendati becak bukan masuk pilihan
utama, namun keberadannya tak bisa dihapuskan dari muka bumi. Mereka tak butuh
promo atau pencitraan. Mereka tak butuh tim propaganda yang hanya mewartakan
kehebatan, prestasi yang sesungguhnya adalah kewajiban.
Abang, tukang becak tahu betul
dengan kewajibannya. Kendati bukan pilihan rakyat. Asal kendil tidak ngguling,
rumah tangga aman. Asal asap dapur masih ngepul, ekonomi harian
berjalan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar