generasi
muda usia tapi jiwa ideologis renta
Makna ungkapan “pengalaman adalah guru
terbaik” masih sumbut, layak, laik, dipergunakan setiap saat. Daripada
harus mengalami sendiri suatu kejadian, kita lebih pas belajar dari nasib orang
lain.
Entah salah menu, akhirnya
putera-puteri pribumi, anak bangsa bumiputera, malah lebih suka meneruskan
jejak pendahulunya. Tak perlu berkeringat, mandi peluh sendiri. Siap tinggal
terima jadi. Tinggal melanjutkan estafet kepemimpinan nasional.
Mental generasi tua yang menerus ke
anak cucu ideologis adalah mental tangan di bawah. Siap menerima warisan, wakaf
berhala reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya). Siap menerima lungsuran, lengseran,
longsoran kursi penyelenggara negara.
Daya juang petugas sebuah partai
politik yang sedang kontrak lima tahun, adalah memuluskan agar jalannya
revolusi mental laju dan lanjut ke periode berikutnya. Menu penguasa harus
serba mégatéga semakin menjadikan ruang gerak generasi pewaris masa depan
semakin terbatas. Inilah cikal bakal munculnya radikalisme semu namun
akumulasinya bak puncak gunung es di laut lepas.
Mungkin generasi pewaris masa depan,
yang sebut saja bagaikan generasi plung lap, hidup di bawah bayang-bayang hitam
modus penguasa. Hanya karena iming-iming nikmat duniawi banyak elemen, komponen
generasi pewaris masa depan yang siap melibas. Main babat tanpa pandang bulu. Hobi
tebas lawan politik dengan suka cita.
Jika di zaman Orde Baru, preman
jalanan – gabungan anak liar (gali) di Yogyakarta – sampai preman gedongan,
preman berdasi dipelihara oleh Golkar, sebagai “herder”-nya. Tak ayal lagi, di
perode 2014-2019 kawanan preman mancanegara menjadi pengendali pemerintah NKRI.
Tak perlu kuatir dengan garda preman
asuhan sebuah partai politik pro-Jokowi plus/minus JK. Mereka akan terbirit
jika dikirim ke daerah bencana alam.
Jiwa politik buka-tutup, yang mana
di mana preman politik atau anak cucu ideologis PKI ditampung, secara formal
kenegaraan mampu mengkontaminasi iklim politik Nusantara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar