dinamika
akar rumput lokal, produk politik vs korban politik
Ibu Pertiwi tidak pernah mengeluh,
apalagi melenguh, dengan kewajiban rutin sepanjang zaman menjadi tumpuan hidup
bangsa dan rakyat Nusantara. Bahkan ketika penjajah bangsa asing mengeruk,
mengeduk kandungan isi bumi secara berkelanjutan, tidak pernah protes.
Apapun tindak pikir, tindak ucap,
tindak laku anak bangsa, putera-puteri asli daerah, dianggap sebagai kewajiban
untuk menjadi ibu yang bijak. Tidak membedakan mana rakyat yang melek-Pancasila dengan mana
pejabat yang sok melek-Pancasila.
Kendati sebagai saksi hidup atas segala
gonjang-ganjing politik, Ibu Pertiwi tetap setia menjaga anak asuhnya. Tanpa meminta
imbalan jasa seperti yang dipraktikkan para petugas, pelaku, pemain, pelakon,
penggila, pegiat atau sebutan lainnya di industri politik.
Akar rumput, lepas dari definisi
menurut berbagai versi kamus, secara kondisional memang posisinya siap jadi “pijakan”,
“injakan”, tumpuan semua makhluk di atas bumi Nusantara. Bisa menjadi sumber
kehidupan bermasyarakat yang berdampak pada pola kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Hukum keseimbangan menyebutkan
bahwasanya barangsiapa dengan sengaja meninggalkan akar rumput, menuju
kehidupan duniawi, dipastikan nilai-nilai kepancasilaannya akan luntur. Sehingga
memerlukan udara segar. Asupan gizi dan nutrisi di udara bebas. Tak heran jika
arus ideologi asing merasuki jiwa raganya.
Tak heran jika di periode 2014-2019,
aroma irama politik yang ada di dunia, tampak nyata di permukaan Nusantara. Aneka
warna ideologi menjadi kebesaran penguasa. Itu saja kawan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar