menegakkan
Indonesia dengan aspek keindonesiaan
Hingar bingar, carut marut, pasang
surut dinamika demokrasi, sebagai bukti adanya demokrasi di Indonesia, hanya
karena ada pesta demokrasi. Terlebih elit partai politik lebih fokus (atau
rakus), mengutamakan, mengedepankan sukses pesta demokrasi, daripada sukses
praktik demokrasi selama satu periode,
Gebyar demokrasi menawarkan diskon
biaya politik liwat skenario, konspirasi, perpanjangan tangan investor politik
nasional maupun internasional.
Aroma irama syahwat politik
Nusantara, selain diwarnai biaya politik dengan segala modusnya, diperparah
dengan adanya dendam politik dengan berbagai versi.
Efek domino politik transasksional,
politk bagi hasil, politik sistem ijon, politik cepat saji atau model teh celup
sangat menentukan jalannya demokrasi satu periode. Panggung politik nasional
menampilkan adegan kolosal politik balas jasa, balas budi vs politik balas
dendam.
Pemain lama bukannya tampil bak
orangtua yang akan meneduhkan suasana. Ibaratnya, saat gonjang ganjing, pemain
lama dengan segala kearifan politik, kecerdasan ideologi, bak ksatria yang
tuntas merguru turun gunung. Atau padepokan sebiah parpol di pucuk gunung,
mengirim murid terpercaya untuk melihat kemelut politik, bencana politik yang
sedang melanda negeri.
Hebatnya lahi, kata ahli sejarah,
benaca politik nasional yang memancing gempa politik lokal, sumbernya ada di
modus politik penguasa. Kasusnya dengan berbagai skala kegempaan, masih sedang,
akan dan selalu terjadi.
Tragedi politik selama periode
2014-2019 memang diharapkan sebagai batas ambang bawah, yang sekaligus sebagai
titik tolak bangkitnya NKRI. Tanpa embel-embel, semboyan, cukup dengan satu
kata : Pancasila.
Megakasus penistaan agama oleh
pejabat, tepatnya gubernur DKI Jakarta saat itu, sebagai bukti bahwa politik
telah menjelma menjadi aliran kepercayaan.
Meganista penguasa adalah dengan sengaja
menanggalkan dan meninggalkan Pancasila. Hukum keseimbangan politik mengatakan
semakin jauh dari rakyat maka akan berbanding lurus dengan lunturnya
nilai-nilai Pancasila. Berlaku bagi politisi sipil maupun penguasa dari angkatan
yang masih aktif karena tugas dan wewenangnya, maupun angkatan yang sudah
purna.
Tegaknya bangsa Indonesia karena
persatuan dan kesatuan rakyat. Bukan karena koalisi pro-pemerintah vs koalisi
tapi oposisi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar