Halaman

Rabu, 08 November 2017

menegakkan Indonesia dengan aspek keindonesiaan



menegakkan Indonesia dengan aspek keindonesiaan

Hingar bingar, carut marut, pasang surut dinamika demokrasi, sebagai bukti adanya demokrasi di Indonesia, hanya karena ada pesta demokrasi. Terlebih elit partai politik lebih fokus (atau rakus), mengutamakan, mengedepankan sukses pesta demokrasi, daripada sukses praktik demokrasi selama satu periode,

Gebyar demokrasi menawarkan diskon biaya politik liwat skenario, konspirasi, perpanjangan tangan investor politik nasional maupun internasional.

Aroma irama syahwat politik Nusantara, selain diwarnai biaya politik dengan segala modusnya, diperparah dengan adanya dendam politik dengan berbagai versi.

Efek domino politik transasksional, politk bagi hasil, politik sistem ijon, politik cepat saji atau model teh celup sangat menentukan jalannya demokrasi satu periode. Panggung politik nasional menampilkan adegan kolosal politik balas jasa, balas budi vs politik balas dendam.

Pemain lama bukannya tampil bak orangtua yang akan meneduhkan suasana. Ibaratnya, saat gonjang ganjing, pemain lama dengan segala kearifan politik, kecerdasan ideologi, bak ksatria yang tuntas merguru turun gunung. Atau padepokan sebiah parpol di pucuk gunung, mengirim murid terpercaya untuk melihat kemelut politik, bencana politik yang sedang melanda negeri.

Hebatnya lahi, kata ahli sejarah, benaca politik nasional yang memancing gempa politik lokal, sumbernya ada di modus politik penguasa. Kasusnya dengan berbagai skala kegempaan, masih sedang, akan dan selalu terjadi.

Tragedi politik selama periode 2014-2019 memang diharapkan sebagai batas ambang bawah, yang sekaligus sebagai titik tolak bangkitnya NKRI. Tanpa embel-embel, semboyan, cukup dengan satu kata : Pancasila.

Megakasus penistaan agama oleh pejabat, tepatnya gubernur DKI Jakarta saat itu, sebagai bukti bahwa politik telah menjelma menjadi aliran kepercayaan.

Meganista penguasa adalah dengan sengaja menanggalkan dan meninggalkan Pancasila. Hukum keseimbangan politik mengatakan semakin jauh dari rakyat maka akan berbanding lurus dengan lunturnya nilai-nilai Pancasila. Berlaku bagi politisi sipil maupun penguasa dari angkatan yang masih aktif karena tugas dan wewenangnya, maupun angkatan yang sudah purna.

Tegaknya bangsa Indonesia karena persatuan dan kesatuan rakyat. Bukan karena koalisi pro-pemerintah vs koalisi tapi oposisi. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar