Halaman

Jumat, 10 November 2017

pahlawan kesiangan vs pahlawan kesurupan



pahlawan kesiangan vs pahlawan kesurupan

Ungkapan “Jer Basuki Mawa Beya” tegesé kanggo nggayuh mimpi butuh pangorbanan. Wajar, marak modus asu rebutan balung atau berdebat hal yang sepele tak ada yang mau mengalah. Terjadilah pasal adigang, adigung, adiguna, artinya merasa paling kuat, merasa paling agung, merasa paling penting.

Contoh paling nyata dan masih berlaku ada di panggung, industri, syahwat politik. Daya juang petugas partai sesuai asas asu gedhé menang kerahé. Dimaksudkan adalah  siapa yang mempunyai jabatan, pangkat, kekuasaan, kekuatan, kekayaan tinggi, pasti lebih menang dalam berperkara.

Sejenak menyimak ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana. Nilai diri terletak di mulut, tindak tutur, gaya ucap, sedangkan nilai fisik terletak pada pakaian, busana maupun atribut kebesaran.

Mungkin, peribahasa bahasa Jawa yang tak berlaku cuma becik ketitik ala ketara. Berbuat baik maupun buruk akhirnya akan terlihat juga, begitu penjelasan sederhananya. Karena baik maupun buruk di kamus dan bahasa politik tergantung suara terbanyak, aklamasi, mayoritas.

Kembali ke hakikat kanggo nggayuh mimpi butuh pangorbanan.

Pertama, contoh lumrah banyak anak bangsa di bawah umur bercita-cita jadi pesohor. Ikut seleksi calon penyanyi sampai figuran film kolosal. Nilai pengobanan termasuk mengorbankan harga diri. Klimaksnya, atau contoh nyata yang jadi tradisi ketika pesta demokrasi.

Mau jadi kepala negara, sah-sah saja negara dikorbankan. Niat jadi kepala daerah, masuk akal kalau saling mengorbankan pihak lain. Cita-cita jadi wakil rakyat terhormat, bermartabat. Pasal rakyat dikorbankan, masuk kalkulasi politik. Tidak perlu disesali jika ternyata tak terpilih.

Kedua, jika mimpi sudah tercapai, tergapai, terwujud, ternyata malah masih butuh pengorbanan yang sebenarnya. Pengorbanan agar tetap sampai garis finish. Tidak turun di tengah jalan. Tahan goncangan, gempa politik yang tak pandang bulu. Aneka pengorbanan sebagai tanda rasa terima kasih kepada pihak yang memberinya jabatan, kedudukan, kekuasaan, pangkat dan wewenang.

Pengorbanan harus direkayasa secara sistematis, akurat di periode pertama. Mencari taktik, strategi agar bisa bersambung ke peridoe ke dua. Bagi yang sudah masuk di periode kedua atau terakhir, baru berpikir agar pasca tidak jatuh pailit. Manfaatkan kesempatan terakhir dengan segala daya, tenaga dan akal.

Jadi, . . . . .  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar