Halaman

Minggu, 06 April 2014

Solidaritas Islam, Semu vs Masif

Ditulis : Herwin Nur,  16 Maret 2013 | 15:12
Fakta Lapangan
Cukup menggelikan, mantan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) yang diberhentikan atau mengundurkan diri, karena diduga melanggar pasal berlapis berbasis korupsi, mendapat dukungan moral dan moril dari ormas Islam NU dan kawanan HMI. NU beralasan bahwa oknum tsb sebagai anak keturunan tokohnya. Rasa hormat kepada mantan ketua umum PB HMI, muncul solidaritas kolegial, semangat korps, maupun fanatisme aktivis sebagai faktor pembenaran tindakan dukungan yang dipakai oleh HMI.

Ironisnya, para petinggi PD yang terlibat tipikor, malah dengan bangga saling membuka aib teman seperjuangan. Sama-sama menerima aliran dana haram, tentunya harus mendapat sanksi yang tidak beda jauh. Mereka melakukan korupsi secara kolektif kolegial. Tidak rela dijadikan kambing hitam atau dikorbankan demi kepentingan PD.

Umat Islam dalam wadah formal NU dan HMI, secara sadar membuka dan menambah peluang konflik horizontal. Potensi konflik karena mencampuradukkan semangat ukhuwah dengan sentimen politik (baca : partai politik). Mengutamakan kepentingan golongan daripada persatuan dan kesatuan nasional. Konflik terbuka akan semakin nyata saat memperebutkan kekuasaan nasional maupun daerah, yang diterjemahkan sebagai menikmati kehidupan dunia.

Di era Reformasi, pemimpin umat atau ulama menjaga jarak dengan pemimpin rakyat atau pemerintah. Acap terjadi, pemimpin umat mempososikan diri sebagai anti-pemerintah, tindakan dan ucapan mengkritisi kebijakan pemerintah, dalam hati mengharapkan jabatan presiden.

Adab Solidaritas
Sesama muslim adalah saudara, untuk urusan saling membela, tidak sekedar ada ikatan kepentingan politis atau sekedar saling menjaga perasaan, minimal harus memasuki pemahaman berdasarkan terjemahan [QS Faathir (35) : 8] : “Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”

Artinya, dengan makna kalimat “menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik”, bukan asal memberikan dukungan formal, apalagi ditunjukkan secara atraktif, seremonial dan masif. Antar muslim seharusnya mengingatkan atas perbuatan yang masuk kategori “pekerjaan yang buruk”, agar  tidak terjerumus ke kondisi berdampak buruk. Solidaritas semu yang ditunjukkan oleh NU dan HMI, sebagai tontonan yang tidak patutatau layak ditiru. Solidaritas semu sebagai awal pembunuhan karakter, karena yang didukung merasa dirinya benar atau minimal meyakini apa yang telah dilakukan sebagai pekerjaan yang baik.

Wajar kalau rakyat menduga “ada udang di balik batu”. Mendukung dosa atau ada pencabangan aliran dana haram. Kebohongan publik menjadi syarat atau dampak pengurus PD. Kepentingan dan kenikmatan duniawi bisa membutakan hati nurani, memasuki dunia abu-abu.

Kita bersyukur, konflik internal umat Islam bukan karena beda mahzab, di fakta lain kita terpaksa mengelus dada ketika menghadapi musuh yang sama (yaitu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan), umat Islam belum bisadalam satu barisan. Potensi zakat, sebagai solidaritas masif, bisa meminimalisir dampak kemiskinan dan memperkecil peluang pemurtadan. Secara nasional, potensi ZIS bisa mengurangi beban pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.

Jihad Individu
Jihad (menegakkan yang hak dan memberantas yang batil), tidak akan berdampak, kecuali dengan solidaritas masif dan bersatunya umat Islam berdasarkan keterikatan hati. Jihad (memerangi hawa nafsu) bisa dimulai dari diri sendiri, sebagai jihad individu. [Herwin Nur/wasathon.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar