Ditulis : Herwin Nur, 16 Maret 2013 | 15:12
Fakta Lapangan
Cukup menggelikan, mantan Ketua Umum
Partai Demokrat (PD) yang diberhentikan atau mengundurkan diri, karena diduga
melanggar pasal berlapis berbasis korupsi, mendapat dukungan moral dan moril
dari ormas Islam NU dan kawanan HMI. NU beralasan bahwa oknum tsb sebagai anak
keturunan tokohnya. Rasa hormat kepada mantan ketua umum PB HMI, muncul
solidaritas kolegial, semangat korps, maupun fanatisme aktivis sebagai faktor
pembenaran tindakan dukungan yang dipakai oleh HMI.
Ironisnya, para petinggi PD yang terlibat
tipikor, malah dengan bangga saling membuka aib teman seperjuangan. Sama-sama
menerima aliran dana haram, tentunya harus mendapat sanksi yang tidak beda
jauh. Mereka melakukan korupsi secara kolektif kolegial. Tidak rela dijadikan
kambing hitam atau dikorbankan demi kepentingan PD.
Umat Islam dalam wadah formal NU dan HMI,
secara sadar membuka dan menambah peluang konflik horizontal. Potensi konflik
karena mencampuradukkan semangat ukhuwah dengan sentimen politik (baca : partai
politik). Mengutamakan kepentingan golongan daripada persatuan dan kesatuan
nasional. Konflik terbuka akan semakin nyata saat memperebutkan kekuasaan
nasional maupun daerah, yang diterjemahkan sebagai menikmati kehidupan dunia.
Di era Reformasi, pemimpin umat atau ulama
menjaga jarak dengan pemimpin rakyat atau pemerintah. Acap terjadi, pemimpin
umat mempososikan diri sebagai anti-pemerintah, tindakan dan ucapan mengkritisi
kebijakan pemerintah, dalam hati mengharapkan jabatan presiden.
Adab Solidaritas
Sesama muslim adalah saudara, untuk urusan
saling membela, tidak sekedar ada ikatan kepentingan politis atau sekedar
saling menjaga perasaan, minimal harus memasuki pemahaman berdasarkan
terjemahan [QS Faathir (35) : 8] : “Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan)
menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik,
(sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? Maka sesungguhnya Allah
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang
dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Artinya, dengan makna kalimat “menganggap
baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik”, bukan asal
memberikan dukungan formal, apalagi ditunjukkan secara atraktif, seremonial dan
masif. Antar muslim seharusnya mengingatkan atas perbuatan yang masuk
kategori “pekerjaan yang buruk”, agar tidak terjerumus ke
kondisi berdampak buruk. Solidaritas semu yang ditunjukkan oleh NU dan HMI,
sebagai tontonan yang tidak patutatau layak ditiru. Solidaritas semu
sebagai awal pembunuhan karakter, karena yang didukung merasa dirinya benar
atau minimal meyakini apa yang telah dilakukan sebagai pekerjaan yang baik.
Wajar kalau rakyat menduga “ada udang di
balik batu”. Mendukung dosa atau ada pencabangan aliran dana haram. Kebohongan
publik menjadi syarat atau dampak pengurus PD. Kepentingan dan kenikmatan
duniawi bisa membutakan hati nurani, memasuki dunia abu-abu.
Kita bersyukur, konflik internal umat
Islam bukan karena beda mahzab, di fakta lain kita terpaksa mengelus dada
ketika menghadapi musuh yang sama (yaitu kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan), umat Islam belum bisadalam satu barisan. Potensi zakat,
sebagai solidaritas masif, bisa meminimalisir dampak kemiskinan dan memperkecil
peluang pemurtadan. Secara nasional, potensi ZIS bisa mengurangi beban
pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.
Jihad Individu
Jihad (menegakkan yang hak dan memberantas
yang batil), tidak akan berdampak, kecuali dengan solidaritas masif dan
bersatunya umat Islam berdasarkan keterikatan hati. Jihad (memerangi hawa
nafsu) bisa dimulai dari diri sendiri, sebagai jihad individu. [Herwin
Nur/wasathon.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar