Senin,
12/05/2003 09:02
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : KRITERIA
MEMILIH PARPOL ...
KRITERIA MEMILIH PARPOL
ISLAM YANG PROSPEKTIF
Menghadapi berbagai
pilihan bukan berarti kita bisa mengambil kondisi dan fakta pilih yang paling
menguntungkan, yang paling minim risikonya atau yang tidak membutuhkan
persyaratan yang njlimet. Tetapi ketika akal sehat, logika atau dimensi
rasional tidak bisa menjabarkan bagaimana menentukan pilihan maka faktor yang
bersifat emosional, sentimental dan irasional bisa mengemuka. Masalah pilihan
akan bias atau mengerucut bila dampak menjadi faktor pertimbangan utama. Opsi
yang paling menguntungkan ternyata mendatangkan dampak negatif pasti si pemilih
akan menyesal tak berkesudahan. Kalau dalam proses pernikahan menemukan kata
"tak cocok lagi" (memangnya ukurannya sudah mulur ?) maka ybs akan
memilih kata "cerai". Di sisi lawannya, karena berbasis sama maka
berbagai pilihan menampilkan wajah "serupa tapi tak sama". Nyaris
semua atribut, ekspresi dan semboyannya antara asli dan imitasinya sulit
disidik perbedaannya.
KONDISI FAKTUAL
Bagaimana ummat Islam
yang mayoritas secara kuantitas di NKRI ini menentukan pilihan dalam Pemilu
2004, apakah dalam memilih parpol yang berbau Islam hanya berdasarkan tradisi,
panutan atau budaya tertentu. Berbagai pengalaman selama ini menyebabkan
pilihan bersifat spekulatif sampai mengarah ke posisi netral. Kalau dalam 6
kali pemilu di era Orde Baru dalam menentukan pilihan kriterianya masih
sederhana, terpola, terstruktur dan lebih terarah secara sistematis seolah
tanpa alternatif. Babakan Reformasi membuktikan banyaknya petualang politik
yang menganekaragamkan momentum menjadi batu loncatan untuk berkibar.
KONFLIK SIMBOLIS
Pelaku politik yang
sudah berani tampil ke permukaan, berkat Reformasi, pada umumnya mempunyai
karakter lebih ke arah urusan dunia, skala finansial dan stimulus fulus.
Sewaktu Orba mereka dengan tekun antri di barisan., tidak ada kamus untuk
saling mendahului. Ketika kran politik di buka deras, daripada antri belum
tentu kebagian lebih praktis membuat barisan sendiri. Orang mendirikan parpol
tak lepas dari ambisi pribadi dan kelompoknya. 48 parpol menyemarakkan pesta
demokrasi 1999 sebagai bukti otentik persaingan meraih simbol-simbol dunia.
Kondisi ini semakin menjadi-jadi menjelang Pemilu 2004. Mendengar pidato orang
akan melihat apa yang dibicarakan ketimbang siapa pembicaranya. Di dunia
politik, orang akan melihat program suatu parpol ketimbang siapa yang bercokol
di pucuk pimpinan. Memahami paradigma ini menyebabkan banyak pelaku / petualang
politik yang tampil dengan baju berbeda. Mulai dari tampil di ormas / orsospol,
nongol di legislatif, mampir di legislatif serta bagaimana wajah dan ucapannya
tertayang di media massa - celakanya parpol Islam tak luput dijadikan kendaraan
politik. Orang yang semula berurusan dengan ummat lalu banting stir berparpol
ria. Kondisi aktual konflik simbolis yang diperagakan oleh perseteruan antara
Raja Comberan dan Ratu Selokan yang memperebutkan Hak Asasi Goyang Syahwat. Mau
tak mau, suka tak suka malah membuktikan buruk rupa bukan cermin buram malah
cermin tetangga diancam.
INDUSTRI POLITIK
Pendulum politik
bergerak bebas dan seolah tak ada tujuannya. Ketika orang melihat bahwa
berpolitik, semisal Gus Dur dan Mbak Mega bisa jadi RI-1 dengan mudah dan
mulus, orang akan menarik garis lurus dan kesimpulan rumusan. Rumusannya tak
jauh dari fungsi urusan dunia, skala finansial dan stimulus fulus. Korupsi yang
bukan monopoli negara berkembang saja implikasinya pada politik uang bukan hal
yang tabu dalam dunia parpol Indonesia. Koordinasi hanya bisa jalan jika
strukturnya sewarna minimal sealiran.
DEMOKRATISASI KELUARGA
Dalam suatu keluarga
yang mempunyai anak aktivis kampus wacana pilihan bisa dijadikan ajang
komunikasi dalam keluarga. Senyampang karena usia anak belum mempunyai hak pilih,
pendidikan akidah bisa diterapkan sejalan pendidikan politik. Melihat kondisi
perpolitikan secara aktual dengan kaca mata agama. Bukan sekedar untuk melihat
siapa yang benar, tetapi lebih ke arah yang esensial, yang menjadi menjadi
jiwa. Asas bebas dan rahasia dalam hari pencoblosan jangan sampai jadi
bumerang. Dampak pemilu ukurannya memang 5 (lima) tahun pertama dan tak selesai
hanya dalam satu periode lima tahunan. Bisa bagaikan half life time surut dan
susutnya. Orangtua harus mampu memberi pengantar / pengenalan parpol ke
anaknya. Perkara dalam bilik pilihan memang sudah hak ybs. Heterogenitas parpol
Islam jangan menjadikan ummat Islam terkotak-kotak secara struktural maupun
kultural. Mengantisipasi hal ini semangat ukhuwah tetap bisa dijaga dalam
sistem keluarga. Gemanya akan menauladani lingkungan sampai skala bangsa dan
negara.
MENYIMAK RUMUSAN
KRITERIA
Pelaku / petualang
politik vs parpol berkuasa tak akan kehabisan akal, tak akan kering ide
bagaimana agar masyarakat titik perhatiannya tetap terfokus. Peran media massa
dalam memposisikan berita sedemikan jamak. Usulan calon presiden yang menjadi
sasaran akhir Pemilku 2004 telah mencuat tanpa tedeng aling-aling. Terbaca
adanya seorang capres yang sebenarnya dijadikan umpan politik digulirkan bebas
ke tengah masyarakat. Dari parpol Islam tak kalah serunya, walau belum punya
jago yang pantas dielus-elus.
Kesalahan yang mendasar dari parpol Islam adalah
dalam mengartikan gotong royong. Berat sama dijinjing, ringan sama dipikul
bukan sekedar peribahasa. Suara ummat Islam bukannya disatukan melalui 1 - 2
parpol Islam, tetapi malah memberi ruang dengan banyaknya parpol Islam. Jelas
parpol besar atau yang sedang berkuasa yang diuntungkan dengan banyaknya parpol
Islam. Suara ummat Islam yang terpecah justru sebagai durian runtuh bagi
kontestan lainnya. Sudah rahasia umum bahwa pandai mendirikan parpol tetapi
tidak becus untuk mengurusnya. Perjuangan pengurus parpol berasaskan asal KUD
alias Ketua Untung Duluan setelah itu baru merembes dan menetes ke bawah. Model
sistem bancakan ramai-ramai bukan hal yang haram. Perlu diketahui bersama bahwa
memperjuangkan Islam tidak harus melalui partai politik. Banyak jalan menuju ke
Roma. Diperlukan kesadaran dini para pelaku/ petualang politik yang mendirikan
parpol Islam bahwa usahanya bak menggali kuburannya sendiri. Bangsa ini jangan
dikorbankan sia-sia.
Berbagai kasus sering memojokkan dan menyudutkan Islam,
agama Islam dan ummat Islam di kandangnya sendiri. Masalah disintegrasi oleh
Gerakan Aceh Merdeka digebyah uyah sebagai radikalisme Islam. Pergolakan di
daerah-daerah lain yang Islam dijadikan sasaran tembak tetapi berita yang
diekspose, khususnya oleh media massa mancanegara, semakin memperpuruk dan
memperburuk citra Islam. Proses kata hati untuk menentukan pilihan dalam Pemilu
2004 bak permainan sepak bola. Menit-menit terakhir bisa menentukan jalannya
dan akhir permainan. Kemenangan bisa diraih pada menit bahkan detik-detik
terakhir. "Serangan fajar" sebagai politik uang akan beraksi
menjelang keberangkatan seseorang ke Bilik Suara. Rasa sungkan, rikuh, tak enak
di hati sebagai momentum yang akan dimanfaatkan parpol atau botoh-botoh untuk
menarik "simpati". Bahkan orang yang merasa dibesarkan oleh suatu
parpol tentu tak akan seenak wudelnya untuk "menggigit tuannya" alias
mbalelo.(hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar