DIKOTOMI KOTA TANGSEL : PRIBUMI vs
PENDATANG
(ditulis tanggal 19-08-2010 )
Undang-Undang RI Nomor 51 Tahun 2008,
tentang “PEMBENTUKAN KOTA TANGERANG SELATAN DI PROVINSI BANTEN”, tertanggal 26
November 2008, yang konon berdasarkan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat, telah melahirkan berbagai berita.
Harian Rebublika, Sabtu, 14 Agustus 2010 /
4 Ramadhan 1431, khususnya pada halaman 11 tercetak berita tentang Tangsel
seputar pemilukada Sabtu, 13 November 2010. Melacak judul, isi dan makna yang
tersirat dalam berita tersebut, membuktikan bahwa masih ada pemikiran yang
berbasis PAD (Putera Asli Daerah). Isu orang pribumi (versi komedian) atau
putra daerah secara demokratis merupakan angin sejuk. Adanya pasangan
independen yang tak diusung partai politik (parpol) sebagai bakal calon (balon)
Walikota dan Wakil Walikota Tangsel sebagai awal tradisi yang betul-betul
aspiratif, bukan rekayasa politis. Perang spanduk antar balon secara tak
langsung menunjukkan siapa kucing dalam karung. Popularitas di era Reformasi
dekade II bukan jaminan seseorang serta merta mendapat kepercayaan. Sering
nampang di media masa bukan jaminan untuk dipilih. Jumlah pemilih di kota
Tangsel saat masih bagian kabupaten Tangerang = 762.064 jiwa, 4 tahun yang
lalu. Jelang pemilukada Tangsel, menyusut menjadi 690.478 jiwa (populasi penduduk
kota Tangsel 2007 sebanyak 918.783 jiwa). Tangsel dengan penduduk < 1 juta
jiwa masuk kategori kota tertentu, dengan segala permasalahan yang tidak berbau
kota. Dukungan 7 kecamatan, walau berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan
provinsi DKI Jakarta, sebagai unggul lokasi namun bagaimana dengan unggul
potensinya?
Akumulasi nilai jual kota Tangsel akan
mempermudah pelaksanaan otonomi daerah. Masalah sampah yang susah cari lokasi
TPST, alih fungsi hunian menjadi tempat usaha yang meresahkan warga bak senjata
makan tuan. 3K bisa mengacak-acak Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan.
Seperti yang sedang terjadi di kompleks perumahan Taman Manggu Indah (TMI),
kecamatan Pondok Aren.
Penduduk kategori pendatang dapat dilihat
dari domisilinya, pada umumnya mereka menghuni dan bertempat tinggal di kawasan
perumahan BTN, real estate, maupun cluster yang bermunculan sebagai pelanggan
banjir. Terjadi alih fungsi dari usaha sawah tradisional menjadi hunian mewah
(=mepet sawah), industri. Mereka sebagai penglaju, yang kerja, sekolah di luar
habitatnya. Secara kuantitas dan kualitas keberadaan pendatang menambah
maraknya kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Bahkan Ketua RW 06 TMI, adalah oknum
pejabat struktural Eselon II (dua) dari Kemenhut yang mandegani Korpri (baca:
abdi masyarakat), melalui mekanisme pemilihan langsung oleh warga yang berhak
memilih layaknya pemilu. Kurang kontribusi dan peduli apa sebagai penduduk
pendatang, Ketua RW 06 TMI mau mendudukan dirinya di “bawah” Lurah
[pangkat/golongan Lurah sebagai PNS minimal Penata (III/c)].
Kendati Lurah bisa mendapatkan limpahan
urusan pemerintahan kabupaten/ kota dari Bupati/Walikota yang merupakan urusan
wajib dan urusan pilihan. Terkadang Ketua RT dan RW berkiprah sebatas urusan
administratif, tak ada power atau posisi tawar dalam urusan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan.
Orang pribumi di daerah penulis, bisa
didengar ketika ada hajat sunat utawa pesta nikah : diiringi ledakan petasan
renteng dan ukuran bom, gema orgen tunggal nonstop plus penyayi dadakan, layar
tancap sampai pagi dilengkapi dengan berbagai acara atraktif lainnya. Air tanah
susah dikonsumsi membuka peluang sebagai pemasok dan penjaja air bersih, PSK
(pedagang sayur keliling), ikut bantu cuci baju, abang tukang ojek, penjual makanan
di malam hari (kebanyakan kaum pendatang), pengumpul dan pengepul barang bekas,
pemulung, keamanan lingkungan, pengayuh odong-odong, dan lain bisanya, terutama
kerja instan (habis kerja dapat duit). Titik temu antara orang pribumi dengan
penduduk pendatang, saat berurusan dengan rupiah (Rp).
Sebagai potensi daerah di bidang SDM,
antara orang pribumi dengan penduduk pendatang, bergerak di antara dua kutub
yang bisa kontradiktif atau saling menguntungkan :
Kutub pertama adalah masyarakat yang
rentan dan rawan Rp. Hasil kerja sehari belum tentu bisa untuk makan sehari.
Lapangan kerja yang tidak menjanjikan ditunjang dengan keahlian yang seadanya.
Membludaknya tamatan SMU/SMK yang tidak berlanjut ke bangku kuliah, pilih jadi
kuli atau kerja serabutan. Mereka sebagai penganut ekonomi rakyat (tak jauh
dari urusan isi perut). Mental nasi bungkus, moral sebungkus rokok diandalkan
kalau ada unjuk raga dan unjuk rasa di jalanan atau saat kampanye. Aliran ini
bisa seperti pepatah pagar makan tanaman.
Kutub kedua adalah masyarakat yang rakus
Rp. Mereka sebagai penyembah berhala Reformasi 3 K (kuat, kuasa, kaya). Modus
operandinya menghalalkan segala cara, tindakan dan ucap. Demi Rp, kawan bisa
jadi lawan, seteru berubah jadi sekutu. Tak ada kawan sejati, tak ada lawan
abadi. Satu parpol pun kalau menyangkut Rp urusan jadi lain. Rp jadi tujuan
hidup. Penggemarnya sangat beragam, termasuk kawanan parpolis atau birokrat
penyelenggara daerah otonom yang punya bakat KKN. Ada Rp ada ……. Walhasil, lima
tahun ke depan 2010-2015 kota Tangsel bisa tergadaikan dan terbelenggu nafsu
sendiri (HaeN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar