Timbal
Balik
Secara tak sengaja kita menemukan situasi dan kondisi 3
kategori fakta dengan faktor penyebabnya terkait senyum/tangis bayi, lepas dari
hasil penelitian, namun bisa diterima secara logika dan oleh akal manusia.
Fakta pertama, acap kita saksikan, seorang ibu
menggendong bayinya untuk berjemur sinar matahari pagi. Atau seorang nenek
menggendong cucunya, diajak keliling tempat tinggal untuk mengenal alam.
Lingkungan dan tetangga. Menjadi pusat perhatian ibu-ibu. Ada yang mengajak
bicara, ada yang bercanda, ada yang mengelus pipi bayi yang belum setahun.
Reaksi bayi sesuai kodratnya, sesuai pertambahan usia, sesuai pertumbuhan jiwa
raga, yaitu tersenyum atau menangis. Terkadang tangis bayi seolah pilih orang.
Baru didekati oleh ibu X, bayi langsung menangis. Walau hanya dilihat oleh ibu
Y, tanpa disapa, bayi senyum manis.
Fakta kedua, bayi tidur di kamar tiba-tiba menangis.
Umumnya dikira karena haus, padahal usai disusui. Ada juga yang mengatakan bayi
takut sendirian, butuh teman. Kalau dipahami lebih jauh ternyata “indra” bayi mampu
membaca situasi, menerima sinyal tertentu, sehingga merasa kurang nyaman. Bayi mampu
mendeteksi siapa dan bagaimana “teman” atau orang di kamar itu. Kehadiran
binatang yang membahayakan, bayi bereaksi dan beraksi dengan tangisnya. Ada
yang bilang, bila bayi senyum sendiri karena dengan “kemampuannya” merasakan didatangi
makhluk lain.
Fakta ketiga, pandangan bayi itu mengikuti gerakan
saya yang sedang jalan kaki. Ibunya sampai heran, karena saya “acuh” dengan
anaknya, padahal hanya bertatapan mata. Batita itu malah terbahak ketika mau
saya ambil dari gendongan kakeknya, saya ajak ikut saya jalan kaki. Atau karena
rambut saya memutih sama dengan kakeknya, batita tersebut heran dan pilih
tertawa. Anak batita tetangga rewel, saya datangi dengan sedikit senyum dan
sapa menjadi tenang.
Ketiga fakta di atas, memang hal yang lumrah, wajar,
alami dan manusiawi. Jika dibedah lebih mendalam, betapa bayi atau sampai anak
batita, belum terkontaminasi kehidupan dunia. Panca indra bayi, khususnya
pendengaran dan penglihatan, belum optimal berfungsi, namun radar lainnya masih
peka, akurat dan dapat dipercaya.
Kita bisa mengacu pada yang tersurat maupun tersirat
dalam terjemahan (QS As Sajdah [32] : 9) : “Kemudian
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur. “
Indra
pendengaran dan penglihatan bayi, batita maupun balita masih kapasitas penuh,
begitu juga dengan hati masih berperan aktif. Koordinasi dan sinkronisasi
antara pendengaran/penglihatan dengan hati seorang bayi akan mengalami proses ketidaksimbangan
sejalan dengan pertambahan umur, pola asuh dan pengaruh lingkungan.
Muhasabah
Singkat
kata, jika kita bisa kontak batin dengan bayi, akan terjadi hubungan timbal
balik, interaksi sosial, inilah kesempatan sederhana untuk muhasabah (evaluasi
diri). Reaksi dan respon bayi atas keberadaan kita di dekatnya, melalui senyum
ataupun tangisnya, sebagai acuan untuk muhasabah. Mengandalkan akal dan logika, kita mengabaikan
bahasa tubuh/indra bayi. Kita mengabaikan ketulusan hati, kesucian hati,
keikhlasan hati bayi.
Semakin
kita bertambah usia, semakin kita lebih mantap, yakin dan percaya bercermin
pada orang lain. Kita merasa berarti dan puas diri jika ada teman yang memuji,
memberikan sanjungan, menganggap diri kita hebat. Bahkan jika tidak ada orang
lain memuji kita, maka kita akan memuji diri sendiri sambil bercermin.
Padahal,
pujian dari orang lain bisa bermakna sebaliknya, terlebih jika yang memuji ada
maunya, ada udang di balik batu. Agar kita tak tersinggung, tak merasa
direndahkan. Bisa juga orang menjilat orang lain, khususnya kepada penguasa
atau pihak yang ada di atasnya, dengan cara memuji.
Orang
bisa maju, berubah dan tetap berproses karena berusaha meminimalisir kekurangan
diri dan kesalahan dalam berpikir, berucap dan bertindak. Kekurangan diri kita
hanya orang lain yang bisa melihat, yang mampu merasakannya. Kritikan dari
orang lain, dari lawan, seteru, rival, ataupun pesaing sebagai masukan jujur,
apa adanya. Kita lebih menimbang kritikan sebagai hinaan, sebagai rasa tidak
suka, sebagai rasa iri hati.
Mengkritik atau mengkoreksi orang lain
ada batasnya, jangan sampai menjurus ke arah menghujat, karena terkait dengan
ketakwaan, sebagaimana sabda Rasulullah saw : "Seorang
hamba tidak dikatakan bertakwa, hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia
mengoreksi orang lain" [HR Tirmidzi]
Saat kita bercermin, jika nampak buruk
muka jangan cermin disalahkan.
-------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar