Halaman

Rabu, 09 April 2014

Belajar Dan Bercermin Dari Makna Senyum/Tangis Bayi


Timbal Balik
Secara tak sengaja kita menemukan situasi dan kondisi 3 kategori fakta dengan faktor penyebabnya terkait senyum/tangis bayi, lepas dari hasil penelitian, namun bisa diterima secara logika dan oleh akal manusia.   

Fakta pertama, acap kita saksikan, seorang ibu menggendong bayinya untuk berjemur sinar matahari pagi. Atau seorang nenek menggendong cucunya, diajak keliling tempat tinggal untuk mengenal alam. Lingkungan dan tetangga. Menjadi pusat perhatian ibu-ibu. Ada yang mengajak bicara, ada yang bercanda, ada yang mengelus pipi bayi yang belum setahun. Reaksi bayi sesuai kodratnya, sesuai pertambahan usia, sesuai pertumbuhan jiwa raga, yaitu tersenyum atau menangis. Terkadang tangis bayi seolah pilih orang. Baru didekati oleh ibu X, bayi langsung menangis. Walau hanya dilihat oleh ibu Y, tanpa disapa, bayi senyum manis.

Fakta kedua, bayi tidur di kamar tiba-tiba menangis. Umumnya dikira karena haus, padahal usai disusui. Ada juga yang mengatakan bayi takut sendirian, butuh teman. Kalau dipahami lebih jauh ternyata “indra” bayi mampu membaca situasi, menerima sinyal tertentu, sehingga merasa kurang nyaman. Bayi mampu mendeteksi siapa dan bagaimana “teman” atau orang di kamar itu. Kehadiran binatang yang membahayakan, bayi bereaksi dan beraksi dengan tangisnya. Ada yang bilang, bila bayi senyum sendiri karena dengan “kemampuannya” merasakan didatangi makhluk lain.

Fakta ketiga, pandangan bayi itu mengikuti gerakan saya yang sedang jalan kaki. Ibunya sampai heran, karena saya “acuh” dengan anaknya, padahal hanya bertatapan mata. Batita itu malah terbahak ketika mau saya ambil dari gendongan kakeknya, saya ajak ikut saya jalan kaki. Atau karena rambut saya memutih sama dengan kakeknya, batita tersebut heran dan pilih tertawa. Anak batita tetangga rewel, saya datangi dengan sedikit senyum dan sapa menjadi tenang.

Ketiga fakta di atas, memang hal yang lumrah, wajar, alami dan manusiawi. Jika dibedah lebih mendalam, betapa bayi atau sampai anak batita, belum terkontaminasi kehidupan dunia. Panca indra bayi, khususnya pendengaran dan penglihatan, belum optimal berfungsi, namun radar lainnya masih peka, akurat dan dapat dipercaya.

Kita bisa mengacu pada yang tersurat maupun tersirat dalam terjemahan (QS As Sajdah [32] : 9) : “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. “

Indra pendengaran dan penglihatan bayi, batita maupun balita masih kapasitas penuh, begitu juga dengan hati masih berperan aktif. Koordinasi dan sinkronisasi antara pendengaran/penglihatan dengan hati seorang bayi akan mengalami proses ketidaksimbangan sejalan dengan pertambahan umur, pola asuh dan pengaruh lingkungan.

Muhasabah
Singkat kata, jika kita bisa kontak batin dengan bayi, akan terjadi hubungan timbal balik, interaksi sosial, inilah kesempatan sederhana untuk muhasabah (evaluasi diri). Reaksi dan respon bayi atas keberadaan kita di dekatnya, melalui senyum ataupun tangisnya, sebagai acuan untuk muhasabah.  Mengandalkan akal dan logika, kita mengabaikan bahasa tubuh/indra bayi. Kita mengabaikan ketulusan hati, kesucian hati, keikhlasan hati bayi.

Semakin kita bertambah usia, semakin kita lebih mantap, yakin dan percaya bercermin pada orang lain. Kita merasa berarti dan puas diri jika ada teman yang memuji, memberikan sanjungan, menganggap diri kita hebat. Bahkan jika tidak ada orang lain memuji kita, maka kita akan memuji diri sendiri sambil bercermin.

Padahal, pujian dari orang lain bisa bermakna sebaliknya, terlebih jika yang memuji ada maunya, ada udang di balik batu. Agar kita tak tersinggung, tak merasa direndahkan. Bisa juga orang menjilat orang lain, khususnya kepada penguasa atau pihak yang ada di atasnya, dengan cara memuji.

Orang bisa maju, berubah dan tetap berproses karena berusaha meminimalisir kekurangan diri dan kesalahan dalam berpikir, berucap dan bertindak. Kekurangan diri kita hanya orang lain yang bisa melihat, yang mampu merasakannya. Kritikan dari orang lain, dari lawan, seteru, rival, ataupun pesaing sebagai masukan jujur, apa adanya. Kita lebih menimbang kritikan sebagai hinaan, sebagai rasa tidak suka, sebagai rasa iri hati.

Mengkritik atau mengkoreksi orang lain ada batasnya, jangan sampai menjurus ke arah menghujat, karena terkait dengan ketakwaan, sebagaimana sabda Rasulullah saw : "Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa, hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi orang lain" [HR Tirmidzi]

Saat kita bercermin, jika nampak buruk muka jangan cermin disalahkan.

-------



Tidak ada komentar:

Posting Komentar