Halaman

Selasa, 01 April 2014

SANKSI UNTUK PARPOL KORUPTOR

SANKSI UNTUK PARPOL KORUPTOR


Motivasi mendirikan parpol sangat kondisional sampai yang irasional. Cita-cita luhur dan tujuan mulia pendiri parpol sejak sebelum proklamasi sampai memasuki dekade kedua reformasi tidak bisa ditarik benang merahnya. Tepatnya seiring perkembangan zaman, terkontaminasi berhala reformasi 3K (kekuasaan, kekuatan, kekayaan). Jelang pesta demokrasi lima tahunan tumbuh parpol bak jamur di musim hujan. Banyaknya parpol di Indonesia tidak bisa dibatasi secara yuridis formal. Kriteria dan syarat ikut pemilulah yang secara alami dapat menjaring dan menyaring jumlah parpol, misal yang pertama dan utama yakni usia parpol lebih dari lima tahun atau satu periode pemilu. 

Aspirasi politik anak bangsa tidak bisa dikekang sejalan proses demokratisasi di segala aspek kehidupan. Pendidikan politik ditujukan pada yang melek politik agar tidak menyimpang secara sadar, terstruktur, massif, berkelanjutan. Masyarakat buta politik biasanya adem ayem, sepi ing pamrih rame ing gawe.

Menyadari partai politik (parpol) bukan sebagai mesin pencetak uang, maka mulai dari pendiri, pembina, penasihat, petinggi, ketua umum, pengurus sampai kader parpol berupaya dengan legitimasi/ legalisasi yang dimilikinya bisa menarik uang. Mulai menggalang dana masyarakat sampai ke menggali berbagai sumber dana dengan berbagai upaya/usaha. Artinya, parpol memang bukan usaha yang bisa mendatangkan laba, bukan upaya produktif, bukan ikhtiar yang profitable. Bahkan untuk mengurus dirinya sendiri, parpol mendapatkan bantuan keuangan dari APBN/APBN, yang diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat ( UU 2/2011). 

Untuk bisa menjadi parpol pemenang pesta demokrasi lima tahunan, tentunya butuh dukungan finansial yang seolah tak bisa diukur. Biaya kampanye, biaya beli suara, biaya jaga eksistensi butuh Rp dalam hitungan milyar. Dukungan keuangan dari perorangan maupun perusahaan, kendati ikhlas menurut hubungan tahu saling tahu, namun masih ada “udang di balik batu”. Pengusaha atau pemilik/pemodal berbagai perusahaan mempunyai kalkulasi matemathis dalam menggelontorkan uangnya untuk menyumbang parpol. Sumbangan pengusaha merupakan umpan yang diharapkan imbalannya tidak hanya finansial, mengarah ke dukungan yuridis politis dari jagonya jika menang. Terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara parpol dengan pengusaha.

Kebutuhan dana tidak hanya dalam meraih kursi (khususnya di parlemen/legislatif dan birokrasi) di tingkat nasional maupun daerah, tetapi juga bagaimana bisa bertahan hidup dalam periode lima tahun. Ironis memang. Parpol atau koalisi parpol yang jagonya menang dalam pemilukada gubernur maupun walikota/bupati, tentunya berharap adanya politik balas jasa/balas budi. Obyek korupsi adalah dana APBN/APBD serta bantuan/hibah luar negeri. Kasus tipikor yang menjerat mantan kepala daerah, mantan anggota DPR/DPRD bukan sekedar bukti individual saja.

Fungsi anggaran DPR, dalam merestui usulan DIPA dari Kementerian/Lembaga (K/L), pihak DPR bisa melakukan titip program/kegiatan di daerah pilihannya (dalam rangka pendidikan politik) sehingga plafond DIPA pakai istilah “semua bisa diatur”. Bahkan dalam pemanfaatan DIPA, anggota DPR yang masuk Komisi bisa ikut secara aktif dan partisipatif. Dapat “proyek”, menikmati Dana Kepemimpinan di K/L jika kunker ke daerah, dsb. Dengan kata lain, mesin utama penyedot uang, adalah melalui fungsi anggaran (termasuk fungsi legislasi dan fungsi pengawasan) dilakukan secara kolektif dan kolegial.

Para parpolis/politikus/politisi mulai papan bawah sampai papan atas dalam menakar keberhasilan juangnya bukan pada apa yang telah dihasilkan dan bermanfaat bagi bangsa, negara dan rakyat, tetapi pada apa saja yang telah diraup dan diperolehnya selama ini. Pertimbangan ekonomi, sebanding tidak antara pengorbanan dengan perolehan, seimbang tidak antara modal yang disumbangkan dengan masukan yang ditampung.

Masuknya dedengkot parpolis/politikus/politisi melalui mekanisme pemilihan ke legislatif, eksekutif dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, tentunya membawa misi yang sangat beraneka ragam. 

Jadi, salah satu tolok ukur keberhasilan utawa kinerja perjuangan parpolis/politikus/politisi (akumulasinya merupakan kinerja partai politik) yaitu posisi apa saja yang telah diperolehnya serta seberapa besar perolehan akibat memanfaatkan posisi tsb. 

Hanya parpolis/politikus/politisi yang boleh mimpi. Rakyat jangan bermimpi mengharapkan kinerja parpol dengan bukti berkurangnya rakyat miskin dan sekaligus berkurangnya orang kaya. 

Keterlibatan parpol dalam korupsi di Indonesia, jelas lebih maju selangkah dengan pasal hukum. Korupsi dengan pelaku utama parpol, tidak sekedar bagai lingkaran setan, bisa dari hulu hingga ke hilir (memberi peluang sekaligus sebagai pelaku), maupun sebagai pusaran korupsi (antar parpol jangan saling menjegal).

Selama era Reformasi yang dimulai dari puncaknya, mantan gubernur, bupati, walikota; mantan wakil rakyat yang notabene adalah kawanan parpolis mendapat status tersangka sampai terpidana. [HaeN]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar