Halaman

Jumat, 18 April 2014

Peran Sentral Niat Dalam Proses Ibadah


Bahasa Hukum
Pasal 340 KUHP menyatakan:
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Tersurat dan tersirat betapa unsur “sengaja dan dengan rencana lebih dahulu”, dalam kasus merampas nyawa orang lain, mendapat hukuman lebih berat atau maksimal dibandingkan “pembunuhan” tak sengaja / tak terencana. Bahkan jika terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melaksanakan unsur di atas, berdasarkan keterangan para saksi, fakta, bukti serta pengakuan di persidangan, apalagi dilakukan bersama-sama, maka bobot hukuman menjadi masif dan terukur, kata lain dari seberat-beratnya. Terkadang hal yang meringankan tidak berdampak pada keputusan hukum.

Orang bisa saja lepas dari hukum manusia, atau mendapatkan hukuman yang seringan-seringannya, atau tidak mau menjadi terpidana sendirian, atau masuk penjara yang menjelma menjadi hotel, namun tak bisa lepas dari peradilan Allah. Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi, maka hukum manusia disusun untuk mengatur hubungan antar manusia dalam kehidupan bersama. Paling tidak kita bisa mengambil kesimpulan, betapa makna unsur “sengaja dan dengan rencana lebih dahulu” bisa mempengaruhi nasib terdakwa menjadi terpidana.

Wajar kita merenung, jika seseorang sudah mendapatkan/melaksanakan hukum dan hukumanan manusia di dunia apakah akan terbebas dari hukum dan hukuman Allah di akhirat. Bagaimana dengan para penegak hukum, aparat yang mengadili dan memutuskan perkara, apakah akan mendapat bonus pahala dari Allah. Sebaliknya, apa akan menjadi terpidana.

Ketetapan Allah
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis satu keburukan saja [HR Bukhâri, no. 6491; Muslim, no. 131].

Bukan berarti kita hanya sekedar menumpuk niat, ber-ingin, ber-mau, atau sekedar berangan-angan, berwacana, memakai embel-embel kata ‘jika ada waktu’, ‘jika sempat’ sampai ‘jika ingat’. Kita jangan bermain-main dengan niat. Niat memiliki kedudukan dan peran sentral dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam beribadah. Niat sebagai tindakan hati, tindakan qolbu yang mendasari kerja panca indra, kerja akal, kerja ucap dan kerja kaki tangan kita. Niat adalah awal dari suatu tindakan nyata, kerja aksi, kegiatan dan proses kehidupan. Niat yang timbul sebagai reaksi bisa tidak tulus dan ikhlas. Bagaimana Allah melihat isi hati kita, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai)  bentuk tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat hati kalian." (HR Musim). Niat tidak hanya saat akan melaksanakan perintah-Nya, tetapi juga diberlakukaan saat berusaha, berupaya untuk menjauhi segala larangan-Nya.

Tentunya bukan sekedar niat yang spontanitas, otomatis karena melaksanakan kegiatan harian yang rutin, tipikal dan nyaris monoton. “Terbiasa” mengerjakan amal ibadah dalam skala harian bisa-bisa kita menganggap niat dan berbuat sebagai satu paket. Niat harus selalu diulang dan diperbarui, karena kadar niat mengandung unsur “sengaja dan dengan rencana lebih dahulu” untuk semua bentuk kegiatan duniawi, khususnya untuk setiap jenis kegiatan ibadah atau ukhrawi.

Sejarah hijrah meninggalkan sunah Rasul, kita simak Rasulullah SAW bersabda : "Sungguh, hanya dengan niatlah, amal itu sah dan bagi setiap orang adalah apa yang telah diniatkannya. Barang siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,. Barang siapa hijrahnya untuk dunia yang ia kejar, atau demi wanita yang dinikahinya, maka ia berhijrah kepada apa yang ditujunya." (HR Bukhari dan Muslim).

Fungsi Niat
Kadar niat bisa sebagai setengah usaha, tinggal kita menyempurnakannya dengan ikhtiar. Kita wajib niat dan ikhtiar, karena soal hasil menjadi hak prerogratif Allah. Niat sebagai modal awal dalam membangun bisnis dengan Allah. Niatlah yang kemudian akan menentukan hasil. Kalau niatnya serius, karena Allah, insya Allah pasti berhasil. Kalau niatnya setengah-setengah, berarti hasilnya juga setengah-setengah.

Dapat dikatakan, niat bagaikan roh dalam perbuatan ibadah. Seperti halnya tubuh ini, jika tidak bernyawa (memiliki roh) maka jasad ini ibarat seonggok daging yang melekat di tulang. Tindakan ibadah kita  tidak akan bernilai sama sekali jika tidak dilandasi dengan niat. Segala tahapan tindakan ibadah  tidak akan bermanfaat jika tidak dikerjakan dengan niat yang tulus, ikhlas dan semata karena Allah.

Rasulullah SAW bersabda, " Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudlhu dan tidak ada amal bagi orang yang tidak berniat." Tersurat, kedudukan dan fungsi niat sebagai faktor penentu amal atau ibadah seseorang. Perbuatan yang nampak kecil dan sepele, yaitu mengambil duri di jalan, agar orang yang akan liwat tidak tertusuk, sebagai ibadah yang tidak sepele (cabang iman paling rendah). Niat merupakan pengontrol dan pengendali hati, sebagaimana seekor kuda tidak akan terarah langkahnya jita tidak ada tali kendali. Hati pun tidak akan lurus jika tridak didasari niat yang lurus. Redaksi niat menggunakan doa dan dilakukan berjamaah, misal niat untuk puasa Ramadhan dibaca bersama usai sholat tarawih.

Secara matematis, kita dapat menggunakan Hukum Newton II :
f = m . a
 
Dengan pengertian dan batasan bahwa :
§    f” adalah gaya atau ikhiar kita untuk mendekatkan diri ke Allah, selalu berada di jalan-Nya, untuk merintis karier menghadap-Nya.
§    m” adalah massa atau besaran ibadah maupun kegiatan amaliah yang kita lakukan.
§    a” adalah (percepatan) niat dalam hati, tidak perlu melafadzkan niat, memantapkan hati dan tekad yang kuat akan melakukan sesuatu. Niat sebagai pemacu dan pemicu dalam bertransaksi dengan Allah.

Dapat kita bayangkan, andai “a” = 0 alias nol/nihil, atau tidak ada niat, maka sebesar-besar “m” jika dikalikan dengan 0 (nol) hasil tetap nol alias nihil. f=m dikalikan 0 (nol), maka hasilnya f=m x 0 (nol) = 0 (nol).

Cuplikan hadits “Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya”, jika diterapkan di f=m.a, di mana :

§    a” berarti baru sebatas niat dalam hati, ikhlas karena Allah, dan
§    m” masih nol (belum beraksi), hasilnya tidak nol.
Diperoleh hasil :
f = m . a = “pahala satu kebaikan”
 



 Menurut hukum manusia f=m.a jika “m”= nol, maka pasti f=0.a=0 ! [HaeN].


---------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar