Halaman

Kamis, 10 April 2014

Demokrasi Perwakilan, di atas kertas vs di lapangan


Kilas Balik
Kajian demokrasi yang paling sesuai dengan Indonesia akan dirumuskan dari konferensi kampus di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, 8-9 Januari 2010. (antara, 8/1/2010)
Komentar :
1.         Demokrasi adalah alat penjajahan Barat, tidak akan pernah mensejahterakan rakyat Indonesia;
2.         Belum dirumuskan saja sudah melahirkan perdebatan di kalangan pengusung demokrasi sendiri, karena Negara Demokrasi adalah ilusi;
3.         Bagi Indonesia dengan penduduk mayoritas Muslim, yang paling cocok adalah Sistem Syariah dan Khilafahlah.
( sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/ .. )

Mengacu alenia di atas, sekilas pula kita telusuri makna komentarnya :

Ad 1. Demokrasi Perwakilan
Di era Reformasi pengusung demokrasi sudah bisa melihat tujuan dan manfaat demokrasi, minimal dampak kran demokrasi dibuka lebar. Berbagai produk hukum ditetapkan untuk memperkuat semangat sekaligus syahwat politik. Makna demokrasi tergantung siapa yang menterjemahkannya, tentunya memakai bahasa politik.

Soal mensejahterakan rakyat, secara awam bisa kita lihat, apakah memang bahwa kesejahteraan dimulai dari atas. Demokrasi diberlakukan di panggung politik, mufakat untuk musyawarah, saling sepakat untuk membagi kursi kekuasaan. Sejahtera secara politis adalah pengurus rakyat jangan sampai menjadi kurus karena berkorban untuk rakyat.

Pesta demokrasi lima tahun sekali, sebagai proses legitimasi bahwa peraih suara terbanyak atau secara kuantitas adalah yang terpilih, didaulat secara formal sebagai yang terbaik. Suara mayoritas menjadi ciri demokrasi. Asas layak, patut dan pantas semakin mengkokohkan wakil rakyat, wakil daerah, kepala daerah, dan kepala negara adalah produk pilihan.

Biaya politik yang dinamis menjadikan demokrasi perwakilan sebagai budaya liberal. Artinya, demokrasi sebagai fungsi rupiah. Demokrasi dibingkai dalam tarikan dua kutub, kutub pertama berupa campur tangan penyandang dana dan kutub lainnya adalah keberpihakan kepada pemodal.

Jika dihitung mundur, wakil rakyat, kepala daerah, atau kader parpol yang terjerat tindak pidana korupsi, sebagai bukti bahwa untuk meraih kursi kekuasaan tidak gratis. Harus ada kalkulasi balik modal, harus ada hukum politik : balas jasa atau balas budi. Suara atau kekuatan minoritas inilah yang menjadi kuda hitam demokrasi.

Ad 2. MPR Sakti
Sejarah membuktikan bahwa MPR periode 1999-2004 hasil Pemilu 7 Juni 1999, sebagai bumerang atau senjata makan tuan bagi demokrasi. Kita bolak-balik faktanya :

Pertama, MPR telah mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1999 tahun 1999, tertanggal 19 Oktober 1999, tentang “PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PROF. DR. ING. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE”, yang intinya pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah.

Kedua, Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) diberhentikan melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR) tanggal 23 Juli 2001 dengan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 tentang “PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA K.H. ABDURRAHMAN WAHID” karena telah mengeluarkan maklumat (dekrit) pembubaran MPR/DPR. Pemberhentian Gus Dur itu murni merupakan akibat pertarungan politik. Bahwa Gus Dur kalah dalam pertarungan itu tentu harus diterima sebagai fakta politik yang tak terelakkan (sumber : http://pwnudiy.or.id/content/kisah-pelengseran-gus-dur).

Baru periode pertama di era Reformasi 1999-2004, demokrasi sudah makan korban dua presiden. Jangan dibayangkan, bagaimana rasa teganya MPR kepada nasib rakyat.

Ad 3. Syura Bukan Demokrasi
Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi, telah masyhur dan  sudah lama adanya.  Meski demikian, anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,” kata Sukarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul, "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam," di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.

Dari berbagai uraian bisa kita simpulkan bahwa  adanya perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi. “Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem (pemerintahan) . . .” (sumber : http://www.globalmuslim.web.id/).

Syura hanyalah hak internal umat Islam saat bertukar pikiran untuk mengambil suatu pendapat atau kesepakatan bersama serta tidak diberlakukan untuk semua urusan. Bagaimana umat Islam ketika berlainan pendapat, kiat, jurus atau langkah apa yang harus dilakukan dengan mengacu fiman Allah yang diabadikan dalam Al-Qur’an [QS An Nisaa’ (4) : 59] : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

  
Saran Dan Simpul
Umat Islam dalam menggunakan hak pilih dalam pemilu legislatif 9 April 2014 dan pemilu presiden/wakil presiden Juli 2014, jika memilih pasif atau masuk kategori golongan putih, akan menguntungkan suara dari non-Islam.

Beda pendapat, beda warna parpol, beda pilihan kita nikmati sebagai dinamika dan bumbu kehidupan, bukan sebagai alasan untuk berseteru dunia akhirat.

-------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar