Kilas
Balik
Kajian demokrasi yang paling sesuai dengan Indonesia akan
dirumuskan dari konferensi kampus di Universitas Tanjungpura, Pontianak,
Kalimantan Barat, 8-9 Januari 2010. (antara, 8/1/2010)
Komentar :
1.
Demokrasi
adalah alat penjajahan Barat, tidak akan pernah mensejahterakan rakyat
Indonesia;
2.
Belum
dirumuskan saja sudah melahirkan perdebatan di kalangan pengusung demokrasi
sendiri, karena Negara Demokrasi adalah ilusi;
3.
Bagi Indonesia
dengan penduduk mayoritas Muslim, yang paling cocok adalah Sistem Syariah dan
Khilafahlah.
( sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/
.. )
Mengacu
alenia di atas, sekilas pula kita telusuri makna komentarnya :
Ad 1. Demokrasi
Perwakilan
Di
era Reformasi pengusung demokrasi sudah bisa melihat tujuan dan manfaat
demokrasi, minimal dampak kran demokrasi dibuka lebar. Berbagai produk hukum
ditetapkan untuk memperkuat semangat sekaligus syahwat politik. Makna demokrasi
tergantung siapa yang menterjemahkannya, tentunya memakai bahasa politik.
Soal
mensejahterakan rakyat, secara awam bisa kita lihat, apakah memang bahwa
kesejahteraan dimulai dari atas. Demokrasi diberlakukan di panggung politik, mufakat
untuk musyawarah, saling sepakat untuk membagi kursi kekuasaan. Sejahtera
secara politis adalah pengurus rakyat jangan sampai menjadi kurus karena
berkorban untuk rakyat.
Pesta
demokrasi lima tahun sekali, sebagai proses legitimasi bahwa peraih suara
terbanyak atau secara kuantitas adalah yang terpilih, didaulat secara formal
sebagai yang terbaik. Suara mayoritas menjadi ciri demokrasi. Asas layak, patut
dan pantas semakin mengkokohkan wakil rakyat, wakil daerah, kepala daerah, dan
kepala negara adalah produk pilihan.
Biaya
politik yang dinamis menjadikan demokrasi perwakilan sebagai budaya liberal.
Artinya, demokrasi sebagai fungsi rupiah. Demokrasi dibingkai dalam tarikan dua
kutub, kutub pertama berupa campur tangan penyandang dana dan kutub lainnya
adalah keberpihakan kepada pemodal.
Jika
dihitung mundur, wakil rakyat, kepala daerah, atau kader parpol yang terjerat
tindak pidana korupsi, sebagai bukti bahwa untuk meraih kursi kekuasaan tidak
gratis. Harus ada kalkulasi balik modal, harus ada hukum politik : balas jasa
atau balas budi. Suara atau kekuatan minoritas inilah yang menjadi kuda hitam
demokrasi.
Ad 2. MPR
Sakti
Sejarah
membuktikan bahwa MPR periode 1999-2004 hasil Pemilu 7 Juni 1999, sebagai
bumerang atau senjata makan tuan bagi demokrasi. Kita bolak-balik faktanya :
Pertama, MPR telah mengeluarkan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/MPR/1999 tahun 1999, tertanggal 19 Oktober 1999, tentang
“PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PROF. DR. ING. BACHARUDDIN
JUSUF HABIBIE”, yang intinya pidato pertanggungjawaban
Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara
menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah.
Kedua, Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) diberhentikan melalui Sidang Istimewa
Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR) tanggal 23 Juli 2001 dengan Tap MPR
Nomor II/MPR/2001 tentang “PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA K.H. ABDURRAHMAN
WAHID” karena telah mengeluarkan maklumat
(dekrit) pembubaran MPR/DPR. Pemberhentian Gus Dur itu murni merupakan
akibat pertarungan politik. Bahwa Gus Dur kalah dalam pertarungan itu tentu
harus diterima sebagai fakta politik yang tak terelakkan (sumber : http://pwnudiy.or.id/content/kisah-pelengseran-gus-dur).
Baru periode pertama di era Reformasi 1999-2004, demokrasi
sudah makan korban dua presiden. Jangan dibayangkan, bagaimana rasa teganya MPR
kepada nasib rakyat.
Ad 3. Syura Bukan Demokrasi
Anggapan bahwa syura (musyawarah)
sama dengan demokrasi, telah masyhur dan sudah lama adanya. Meski
demikian, anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita
ialah musyawarah,” kata Sukarno, presiden pertama RI, ketika
menyampaikan pidato berjudul, "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam,"
di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.
Dari berbagai uraian bisa kita simpulkan
bahwa adanya perbedaan fundamental antara syura dan
demokrasi. “Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta
pendapat (thalab ar-ra’y). Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan
hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan
sistem (pemerintahan) . . .” (sumber : http://www.globalmuslim.web.id/).
Syura hanyalah
hak internal umat Islam saat bertukar pikiran untuk mengambil suatu pendapat
atau kesepakatan bersama serta tidak diberlakukan untuk semua urusan. Bagaimana
umat Islam ketika berlainan pendapat, kiat, jurus atau langkah apa yang harus
dilakukan dengan mengacu fiman Allah yang
diabadikan dalam Al-Qur’an [QS An Nisaa’ (4) : 59] : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Saran Dan Simpul
Umat Islam dalam menggunakan hak pilih dalam
pemilu legislatif 9 April 2014 dan pemilu presiden/wakil presiden Juli 2014,
jika memilih pasif atau masuk kategori golongan putih, akan menguntungkan suara
dari non-Islam.
Beda pendapat, beda warna parpol, beda pilihan
kita nikmati sebagai dinamika dan bumbu kehidupan, bukan sebagai alasan untuk
berseteru dunia akhirat.
-------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar