Indonesia Perlu Reformasi Jilid 2
Ditulis : Herwin Nur, 21 April 2014 | 16:17
Soal urusan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, manusia acap tidak bercermin pada senyum, sapa dan salam serta jiwa
gotong-royong semut; manusia sering kurang mengacu praktek pembagian tugas pada
lebah; manusia selalu tidak memperhatikan makna formasi “V” migrasi burung.
Justru yang dianut untuk direkayasa, dimodifikasi maupun diformulasikan adalah
bagaimana cara menjadi ‘raja dan penguasa hutan’ dengan mengandalkan 3K
(kuasa, kuat, kaya).
Semboyan Sang Reformis adalah siapa yang
andilnya dominan dalam me-lengserkerabon-kan Suharto sebagai RI-1, 21
Mei 1998, paling berhak menjadi presiden. Patriotisme Sang Reformis berjibaku
bersama berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, pemuda melawan rezim Orde Baru
di jalanan sampai menduduki gedung MPR/DPR, ternyata ada udang di balik batu.
Pamrih Sang Reformis yang pasang badan sebagai pendobrak adalah merebut untuk
memiliki, paling tidak berasas kalau bisa dijadikan hak milik kenapa harus
dialihkan ke orang lain.
Kita bersyukur, masih ada reformis yang
berjiwa kesatria, usai tugas selesai, balik kanan, kembali ke habitat semula.
Mereka tidak mengenal kontrak politik, mereka mengharamkan politik
transaksional, mereka hanya cinta republik ini. Titik.
Sampai tahun 2014, sudah hadir 4 presiden,
sisa-sisa reformis yang sudah ketinggalan zaman masih semangat mengontrol dan
mengendalikan republik. Setiap pesta demokrasi, tanpa malu, sungkan dan ragu,
menampakkan diri, merasa bisa memimpin bangsa dan negara. Setiap ada kemelut
bangsa, mengutamakan sumbang saran maupun saran sumbang, tepuk dada dan merasa
paling berjasa. Sisa reformis sudah tidak dalam satu barisan, mereka mengusung
benderanya masing-masing, berjuang bukan untuk republik. Mereka bukan sekedar menjala
ikan di air keruh, justru yang membuat keruh iklim politik.
Peninggalan Politik
Reformasi Politik adalah perubahan secara
drastis untuk perbaikan dl bidang politik dl suatu masyarakat atau negara
(sumber : http://kbbi.web.id/reformasi).
Yang sudah dan sedang dipraktekkan adalah Reformasi Birokrasi yang dilaksanakan
oleh Pegawai Aparatus Sipil Negara.
Perubahan pertama sampai perubahan keempat
UUD 1945 untuk mengakomodir kepentingan politik dan diimbangi dengan hak asasi
manusia. Terbukti, dominasi legislatif di dua periode SBY diimbangi koalisi
partai politik sebagai pengingkaran terhadap kodrat Bhinneka Tunggal Ika.
Oposisi setengah hati, hegemoni banci mendudukan politik sebagai komoditas
ekonomi, mempunyai nilai jual. Industri politik menjadikan biaya politik
tinggi. Panggung politik menjadi ajang jual beli kepercayaan yang berujung
bagi-bagi kursi alias politik transaksional.
Tahun politik 2014, kualifikasi Presiden
menjadi dilematis, sebagai pemimpin (leaders) atau pengikut (followers).
Semua parpol peserta pileg 9 April 2014 hanya siap menang, apalagi didukung
hasil survei. Terjadi respons revolusioner yang terjadi pada partai politik
gurem atau parpol pendatang yang memanfaatkan relung dan ceruk ekologi politik
yang ditinggalkan spesies yang lebih besar yaitu PD sebagai parpol penguasa dua
periode. PG, PPP dan PDI-P yang berpengalaman sejak zaman Orba terseok-seok
dengan elektabilitas, biaya politik maupun politik transaksional.
Banyak pihak menginginkan perubahan, kata
lain dari politik transaksional. Merubah bangsa dan negara tidak harus
menjadi pemimpin bangsa/negara. Demokrasi perwakilan menjadikan faham memimpin
untuk berkuasa atau berkuasa untuk memimpin.
Masyarakat Sebagai Subyek
Umat Islam mempercayai adanya Qada
Mu’allaq (adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam artian ketentuan
tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak terjadi pada diri
seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu sendiri) yang telah
ditegaskan oleh Allah dalam sebagian [QS Ar Ra’d (13) : 11]
:“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri.”
Allah tidak akan mengubah keadaan umat
Islam, selama umat Islam tidak merubah penyebab kemundurannya.Sehingga,
reformasi politik sebagai bagian atau tindakan nyata merubah nasib bisa dimulai
dari individu sebagai unsur masyarakat, dengan izin Allah. Dua syarat utama
harus kita miliki dan kita laksanakan, yaitu memperbanyak doa dan menyambung
silaturrahim.
Doa umat islam secara invidu maupun
berjamaah, yaitu berdoa agar mempunyai pemimpn yang amanah. Atau agar pemimpin
yang ada mendapat petunjuk-Nya. Protes umat Islam kepada pemimpinnya yang
kurang/tidak amanah dimulai dengan doa. Tidak perlu dengan unjuk raga dan unjuk
rasa di jalanan. Apalagi dengan caci maki, mengumpat, menghujat dan tindakan
anarkis. Jangan sampai mengatasi kemungkaran dengan kemungkaran. Pakai adab
atau ayat, sesama muslim saling mengingatkan, saling menasihati.
Utamakan ikatan moral, antar umat Islam
saling bersilaturrahim, memperkokoh barisan, memperkuat ukhuwah.Sesuai dengan
firman Allah dalam [QS Ash Shaff (61) : 4] : “Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.
Ironis, umat Islam sibuk ideologi atau
politik, lupa ukhuwah, bahkan menyambung silaturrahim sekedar mencari
dukungan pembenaran. Itu sebabnya, demi perbaikan, perubahan mendasar kearah
yang lebih baik lagi, sepertinya Indonesia perlu suarakan reformasi Jilid 2. [Herwin
Nur/Wasathon.com].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar