Ditulis : Herwin Nur, 23 September 2013 | 21:45
Ilmu Manusia
Sinyalir para Malaikat tentang tabiat dan perilaku manusia, ketika melihat Allah menciptakan manusia pertama Adam a.s, terbukti. Sikap para Malaikat diabadikan dalam [QS Al Baqarah (2) : 30] : " Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Kerusakan akibat manusia mempraktekkan tumpukan dan deretan ilmunya, merasa wajib melakukan perubahan. Keberhasilan secara politis dan ekonomis dianggap sebagai tolok ukur perubahan. Bumi menjadi obyek perubahan. Perubahan kecil dengan merubah permukaan bumi dengan tujuan menjadi tempat tinggal yang layak bagi manusia. Mengelupas dan mengupas kulit bumi hingga gundul, dengan dalih untuk perubahan. Mengeduk dan menguras kandungan bumi dan laut, dianggap hal kecil sebagai modal perubahan besar.
Makna ‘menumpahkan darah’, Allah telah meyuratkan [QS Al Baqarah (2) : 36] : " . . . dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
Waktu Dan Ruang
Ternyata untuk “merusak” bumi ada “ilmu”nya, dilakukan secara terencana, terstruktur, menerus maupun atau dampak pembangunan, bisa juga dampak peperangan. Apakah hanya orang yang sarat ilmu saja yang bisa berbuat kerusakan?. Apakah hanya kekuasaan dan kekuatan formal saja yang berhak “merusak” bumi.
Bagaimana jika manusia, khususnya umat Islam, dalam melestarikan atau mengelola bumi, atau sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah, memerlukan ilmu atau tidak. Makna khalifah bisa berarti wakil atau pengganti yang memegang mandat Allah, pelaksana kehendak Allah dalam mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kewenangan yang diembankan, dipercayakan kepada manusia bersifat total dan berlaku hingga akhir zaman. Manusia seolah diberi hak prerogratif dalam mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya dan masa depan umat manusia.
Dorongan Primitif
Kebanyakan umat Islam menerjemahkan khalifah sebagai pemimpin umat manusia dan penerus ajaran agama yang telah dilakukan oleh Muhammad SAW. Proses sejarah, ada yang mengartikan khalifah sebagai pemelihara ataupun penjaga bumi dari kerusakan alami maupun akibat ulah tangan manusia.
Manusia menggunakan akalnya untuk mencari pembenaran atas segala tindakannya dalam mengolah kekayaan alam. Manusia sering terbentur pada kenyataan alam yang sulit dicerna logika dan akalnya. Tepatnya, bahkan manusia tidak peduli pada nasib generasi mendatang akibat eksplorasi dan eksploitasi bumi.
Ironisnya, manusia juga menggunakan akalnya dalam mengingat dan berkomunikasi dengan Allah, tidak berpusat pada qalbu. Tidak salah, karena Islam mendudukkan akal sebagai kebijaksanaan, intelegensia, dan pengertian. Akal bukan hanya pada ranah rasio, tetapi juga rasa, bahkan lebih jauh dari itu akal diartikan dengan hikmah atau bijaksana.
Allah telah memberi kelebihan yang sempurna atas manusia dibandingkan dengan kebanyakan makhluk lainnya. Al-Qur’an memandang manusia dengan berbagai karakter sebagai fungsi nafsu yang merupakan daya dorong manusia untuk meraih keinginannya. Dorongan ini sering disebut dorongan primitif, sifatnya bebas dan netral, tanpa batas baik dan buruk. Manusia sering terjebak dan terjerat oleh nafsunya sendiri. [Herwin Nur/wasathon.com].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar