Halaman

Rabu, 16 April 2014

SETERU SEGI TIGA DI YOGYAKARTA

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 22/10/2002 07:09

KOTA YOGYAKARTA memang "Berhati Nyaman", bergaya budaya, berkelas bebas, bercitra nusantara, berskala mancanegara, berstandar pelajar dan berupaya luar dalam mempertahankan nilai tukar diri sebagai kawasan DBB (Daerah Bebas Bom). Sayangnya masih terdapat kawasan yang tidak bebas corat-coret. Kita tinjau pagar sebuah hotel simpang, di pojok pertemuan jalan C. Simanjuntak dengan jalan Jenderal Soedirman, tertulis kalimat "BURUH/TANI DIPERSENJATAI MELAWAN GOLKAR MUSUH RAKYAT". Hotel yang doeloenya SMP Negeri VIII dengan tarif parkir mobil Rp 500 dan parkir motor Rp 300 (semoga Bang Yos, Gubernur DKI tidak iri). 

Mencoba menggali ingatan kita yang mungkin sedang dirundung lupa, masih diliputi suasana kurang, sudah dirasakan hilang atau minimal dalam proses gangguan, baca Republika, Minggu 29 September 2002 yang menuturkan bahwa saat-saat menjelang G30S, Aidit banyak membuat pernyataan yang memanaskan situasi. Gagasannya tentang Angkatan Kelima - mempersenjatai buruh dan tani - yang merupakan gagasan pemimpin RRC Chou En Lai, ditentang keras oleh Menko Hankam/KASAB Jenderal Nasuition dan Menteri/Pangad Jenderal Achmad Yani. Dan seterusnya baca di halaman [11] Senggang. Setelah sadar kutertawa, ternyata Yogyakarta adem-ayem toto tentrem memeram sambil memendam bahaya laten nyaris paten yaitu "perseteruan PKI - Golkar - rakyat". Jika kita amati secara historis tingkah polah maupun tingkah laku Partai Komunis Indonesia (PKI) di zaman/rezim Orde Lama dan Golongan Karya (Golkar) di zaman super rezim Orde Baru - berdasarkan logika banding, sanding maupun tanding - ternyata mereka mempunyai sederet persamaan / perbedaan dalam menentukan / mempengaruhi zamannya. 

Kendati Golkar di era Reformasi atau pasca Orba telah ganti baju menjadi Partai Golongan Karya, mengalami amputasi dan mendapat "lawan" puluhan partai politik tetap tidak akan meredakan perseteruan tersebut, bahkan semakin menjadi gila betulan. Apalagi etos dan korsa ke-Golkar-an sudah merebak semena-mena. Perimbangan perseteruan yang menerus ini dengan tumpuan korban yang diharapkan tetap pada rakyat. Ajaran komunis yang dilestarikan oleh generasi anak cucu PKI secara formal memang sulit dicegah tangkal. Mereka menyusup dan membuahkan pertikaian elit politik. Semangkin para elite politik bertikai, semangkin menyelusuplah ajaran komunis. Karena adanya asas komunis yaitu "sama rasa, sama rata" dengan "politik sebagai panglima" sampai ke "tujuan menghalalkan cara". Jelasnya dalam fakta yaitu suatu parpol tak akan ikhlas dan rela bila lawannya menang dalam Pemilu. Begitu juga sebaliknya, bagi parpol pemenang Pesta Demokrasi tak akan ikhlas dan rela membagi kemenangannya. Tak jauh beda dengan pemeo "menang hancur, kalah lebur" atau "menang babak belur, kalah hancur lebur". 

PKI agaknya mendapat kawan sepermainan bukannya lawan seimbang. Diam-diam PKI dengan modal dengkul sambil ongkang-ongkang kaki menghitung laba plus memetik bunga serta menadah bonus keuntungan dari perseteruan segi tiga ini. Konyolnya, mendekati Pemilu 2004 mewajibkan parpol untuk super sibuk merapatkan barisan dan repot menghitung untung rugi dan memeras otak mencari dana menggapai kursi. Menang dengan seribu luka atau kalah dengan sejuta duka sudah menghantui nalar para politikus kita. Mau dikorbankan untuk kepentingan siapalagi dan keperluan apalagi rakyat ini. Komunis subur dan berkembang biak di lahan dengan kondisi perbedaan sosial cukup mencolok. Kesenjangan sosial memang menjadi acuan utama gerakan komunis. Ingat KOTA YOGYAKARTA, ini baru babakan politik, belum babakan otonomi daerah. (hn)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar