Selasa, 22/10/2002 07:09
KOTA YOGYAKARTA
memang "Berhati Nyaman", bergaya budaya, berkelas bebas, bercitra
nusantara, berskala mancanegara, berstandar pelajar dan berupaya luar dalam
mempertahankan nilai tukar diri sebagai kawasan DBB (Daerah Bebas Bom).
Sayangnya masih terdapat kawasan yang tidak bebas corat-coret. Kita tinjau
pagar sebuah hotel simpang, di pojok pertemuan jalan C. Simanjuntak dengan
jalan Jenderal Soedirman, tertulis kalimat "BURUH/TANI DIPERSENJATAI MELAWAN
GOLKAR MUSUH RAKYAT". Hotel yang doeloenya SMP Negeri VIII dengan tarif
parkir mobil Rp 500 dan parkir motor Rp 300 (semoga Bang Yos, Gubernur DKI
tidak iri).
Mencoba menggali ingatan kita yang mungkin sedang dirundung lupa,
masih diliputi suasana kurang, sudah dirasakan hilang atau minimal dalam proses
gangguan, baca Republika, Minggu 29 September 2002 yang menuturkan bahwa
saat-saat menjelang G30S, Aidit banyak membuat pernyataan yang memanaskan
situasi. Gagasannya tentang Angkatan Kelima - mempersenjatai buruh dan tani -
yang merupakan gagasan pemimpin RRC Chou En Lai, ditentang keras oleh Menko
Hankam/KASAB Jenderal Nasuition dan Menteri/Pangad Jenderal Achmad Yani. Dan
seterusnya baca di halaman [11] Senggang. Setelah sadar kutertawa, ternyata
Yogyakarta adem-ayem toto tentrem memeram sambil memendam bahaya laten nyaris
paten yaitu "perseteruan PKI - Golkar - rakyat". Jika kita amati
secara historis tingkah polah maupun tingkah laku Partai Komunis Indonesia
(PKI) di zaman/rezim Orde Lama dan Golongan Karya (Golkar) di zaman super rezim
Orde Baru - berdasarkan logika banding, sanding maupun tanding - ternyata
mereka mempunyai sederet persamaan / perbedaan dalam menentukan / mempengaruhi
zamannya.
Kendati Golkar di era Reformasi atau pasca Orba telah ganti baju
menjadi Partai Golongan Karya, mengalami amputasi dan mendapat
"lawan" puluhan partai politik tetap tidak akan meredakan perseteruan
tersebut, bahkan semakin menjadi gila betulan. Apalagi etos dan korsa
ke-Golkar-an sudah merebak semena-mena. Perimbangan perseteruan yang menerus
ini dengan tumpuan korban yang diharapkan tetap pada rakyat. Ajaran komunis
yang dilestarikan oleh generasi anak cucu PKI secara formal memang sulit
dicegah tangkal. Mereka menyusup dan membuahkan pertikaian elit politik. Semangkin
para elite politik bertikai, semangkin menyelusuplah ajaran komunis. Karena
adanya asas komunis yaitu "sama rasa, sama rata" dengan "politik
sebagai panglima" sampai ke "tujuan menghalalkan cara". Jelasnya
dalam fakta yaitu suatu parpol tak akan ikhlas dan rela bila lawannya menang
dalam Pemilu. Begitu juga sebaliknya, bagi parpol pemenang Pesta Demokrasi tak
akan ikhlas dan rela membagi kemenangannya. Tak jauh beda dengan pemeo
"menang hancur, kalah lebur" atau "menang babak belur, kalah
hancur lebur".
PKI agaknya mendapat kawan sepermainan bukannya lawan
seimbang. Diam-diam PKI dengan modal dengkul sambil ongkang-ongkang kaki
menghitung laba plus memetik bunga serta menadah bonus keuntungan dari
perseteruan segi tiga ini. Konyolnya, mendekati Pemilu 2004 mewajibkan parpol
untuk super sibuk merapatkan barisan dan repot menghitung untung rugi dan
memeras otak mencari dana menggapai kursi. Menang dengan seribu luka atau kalah
dengan sejuta duka sudah menghantui nalar para politikus kita. Mau dikorbankan untuk
kepentingan siapalagi dan keperluan apalagi rakyat ini. Komunis subur dan
berkembang biak di lahan dengan kondisi perbedaan sosial cukup mencolok.
Kesenjangan sosial memang menjadi acuan utama gerakan komunis. Ingat KOTA
YOGYAKARTA, ini baru babakan politik, belum babakan otonomi daerah. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar