oleh : Arni Nurwida
Secara historis, khususnya sejak Reformasi 1998, partai politik (parpol)
Islam didirikan berbasis ormas Islam atau sebagai dampak nyata dari setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (Pasal 38E, ayat (3) UUD RI
1945 perubahan kedua), bahasa jelasnya agar bisa menyalurkan ambisi politiknya
dengan ikut pesta demokrasi lima tahunan.
Koalisi parpol Islam, di atas kertaspun susah dicari apalagi
ditarik benang merahnya. Moral dan roh parpol adalah kepentingan, yang dalam
prakteknya bersifat indiviudal. Sejarah membuktikan, internal parpol Islam
terjadi perang dingin, khususnya antara pendiri dengan penerusnya. Jebakan
dogma bahwa ketua umum parpol identik dengan bakal calon presiden menjadikan
friksi internal semakin nyata. Bahkan penentuan nomer urut bakal calon
legislatif di tubuh parpol bukan hal yang mudah, apalagi gratis. Ironis, wakil
rakyat yang belum habis kontrak, ikut pilkada. Dinasti politik pun terjadi di
tubuh parpol Islam, dengan dalih regenerasi.
Kegiatan politik adalah kegiatan menyelenggarakan negara yang bersifat
serba multi, misal multireliji, multietnis, multikultural. Urusan negara masuk kuadran
daerah abu-abu, banyak hal yang samar, mengambang, banyak pasal di antara halal
dan haram atau syubhat. Perkara berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
diselesaikan dengan pendekatan musyawarah untuk mufakat, prakteknya dalam
bentuk aklamasi, voting, tawar-menawar, sistem arisan, tukar guling.
Kepala negara memang bukan khalifah, bukan pimpinan umat apalagi pimpinan
agama, tetapi jabatan pimpinan formal rakyat. Parpol Islam fokus mengurus
urusan negara, sehingga urusan umat menjadi urusan cadangan. Urusan umat seolah
menjadi tanggung jawab ulama, mubaligh, ustadz, dai, pondok pesantren. Tradisi
ormas Islam macam Muhammadiyah dan NU yang bermain politik, hanya berasas :
tidak ada kawan sejati maupun lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar