Kamis, 13/02/2003 09:14
KOBARKAN SEMANGAT
"AA GYM" : MELURUSKAN KIBLAT REFORMASI
MELURUSKAN KIBLAT
REFORMASI Bermula dari turunnya mahasiswa, pemuda dan berbagai komponen rakyat
ke jalanan sampai nangkring di atap gedung MPR/DPR Senayan (simbolnya penyalur
tunggal aspirasi rakyat melalui sistem permusyawaratan/perwakilan),
mengakibatkan lengser keprabonnya sang penguasa tunggal Orde Baru. Tekanan
massa saat itu hanya didukung oleh sedikit tekanan politis dari beberapa
pembantu presiden dari Golongan Karya. Puncak peristiwa 21 Mei 1998 tersebut
telah numpang lahir era Reformasi.
CACAT SEJARAH
Karena yang sifatnya
numpang lahir maka menjelang lima tahun peristiwa nasional tadi malah
membuktikan bahwa era Reformasi telah cacat sejarah sebagai cacat bawaan.
Tekanan massa memang jitu untuk menggoalkan suatu tuntutan. Tetapi tanpa
tekanan hukum, politis, militer, ekonomi dan moral suatu rejim sulit
dilengserkan sampai keakar-akarnya. Sebagai bangsa timur masih banyak jebolan
Orde Baru yang masih setia kepada tuannya, ditunjukkan dengan berbagai cara.
Cacat sejarah era Reformasi semangkin dibuktikan dengan mereka yang
mengandalkan massa maka secara naluri politis dapat berbuat kuasa, akhirnya
sebagai penguasa negara. Sistem ke-Orba-an masih dipraktekkan oleh para
penyelenggara negara, penegak hukum, politikus, aparat keamanan, pemegang
kendali ekonomi nasional - bahkan telah merambah sampai ke tingkat pemerintah
daerah (sebagai wujud otonomi pemerintah daerah). Lucunya lagi, para alim ulama
ada yang ikut-ikutan berpartai poltitik, dalam upaya mengejar dunianya karena
kalau jadi oposan tetap miskin. Tanpa tekanan hukum maka perwujudan
pemerintahan yang bersih dari praktek KKN, politik uang; berwibawa menghadapi
tekanan asing dan kekuatan internasional serta manusiawi dalam menyikapi
disintegrasi bangsa hanya akan berakhir sia-sia. Krisis moneter berlanjut
dengan berbagai krisis kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat maupun
beragama sudah mencapai puncak klimaksnya. Terminal terakhir era Reformasi
diwujudkan dengan pengkotak-kotakan massa sambil memperkuat diri, membetengi
diri, memagari diri, melindungi diri dan mengaktualisasikan diri dalam format
partai politik. Sisi lain cacat bawaan, justru selama pada era Reformasi walau
telah "diperkuat" dengan 3 presiden tekanan militer malah menunjukkan
jati dirinya. Penerapan hukum atas pelaku tindak pidana oleh otak komando sulit
dilaksanakan, terlebih kejadian di zaman Orba. Kalaupun dilaksanakan dengan setengah
hati, prajurit lapangan akan dikorbankan. Koordinasi dengan aparat keamanan
menyebabkan seorang buron bisa lenggang kangkung. Alasan keamanan menyebabkan
para investor mancanegara enggan menanamkan modal di NKRI. Beda dengan demi
mengamankan modal banyak konglomerat hitam memarkirkan dananya di luar negeri.
KRAN DEMOKRASI
Terbukanya kran
demokrasi berimbas pada munculnya berbagai tokoh "gerakan bawah
tanah", bak menunggu kesempatan dalam kesempitan, yang tanpa tedeng
aling-aling berambisi jadi kandidat calon presiden. Manusia pengambisi ini
datangnya dari kalangan yang "dia pikir dia pintar", paling tidak
termasuk dari jajaran makhluk berakal, yang biasa berakal bulus maupun
akal-akalan. Dipikir jadi presiden memang enak, walau cukup satu periode saja.
Soal bagaimana membayar lunas hutang-hutang yang telah meliwati jatuh tempo,
bagaimana mengutuhkan nasionalisme dan persatuan bangsa, bagaimana memulihkan
perekonomian bangsa yang telah terpuruk sampai lembah bawah, bagaimana
memraktekkan hukum secara benar dan tanpa pandang bulu yang mana, bagaimana
menggalang kekuatan ekonomi yang berbasis kerakyatan tanpa merusak lingkungan,
bagaimana memposisikan aparat keamanan secara profesional serta masih segudang
pekerjaan rumah yang menghadang, agaknya hanya akan menjadi retorika kampanye
saja. Agenda Reformasi yang didengungkan di awal lahirnya selama ini memang
belum ada evaluasinya secara formal. Agendanya memang idealis tetapi menghadapi
realitas jelas banyak tantangan. Silang kata atau adu kuasa antar penyelenggara
negara dalam menghadapi suatu kasus, gotong-royong menjarah kekayaan bangsa
menjadi ciri era Reformasi. Pagi jadi kawan, sore jadi lawan. Sekarang sekutu,
besok seteru. Atau karena keberhasilan era Reformasi dimulai dari puncaknya,
yaitu pada saat melengserkeprabonkan sang penguasa tunggal Orde Baru. Penurunan
prestasi era Reformasi sudah mendekati landasan dasar menjelang Pemilu 2004.
Para pengamat atau pemerhati persoalan bangsa yang semula hanya berperan
sebagai penonton bak bonek, akhirnya berjibaku turun gelanggang sebagai pemain,
ternyata mainnya lebih ganas dan liar dibanding pemain yang digantinya.
KEHIDUPAN BATIN
Sisi lain dari biang
cacat sejarah era Reformasi adalah tidak adanya motifasi batin, kehidupan
batin, perjalanan batin apalagi ikatan batin para sponsornya. Beda dengan
runtuhnya rejim Orde Lama yang melahirkan Angkatan 1966. Sampai kini pun
Angkatan 1966 masih berkibar, sejelek-jeleknya anak cucunya sudah panen raya
secara ekonomi atau punya kuasa walau pada level klas teri kualitas eksport.
Sedangkan kawanan sponsor era Reformasi malah jegal-menjegal dalam lingkaran,
cakar-cakaran adu tebal muka terhadap aspirasi masyarakat, apalagi gesekan hati
nurani rakyat. Opini media massa dikatakan njomplang oleh penguasa negara, para
pengunjuk rasa dan penyambung rasa di jalanan didakwa ada pemodalnya utawa
aktor intelektualnya berdasarkan laporan intelejen lokal tetapi penjual aset
bangsa disanjung. Agar para Reformis tidak kebablasan dan salah langkah dalam
menghadapi sistem ke-Orba-an sekaligus sistem ke-Orla-an yang menjiwai sebagian
besar kawanan Reformis kini diperlukan kiat yang sangat sederhana dan alami.
Entah apa nama dan wujudnya. Paling tidak kesadaran diri sangat diperlukan.
Boleh saja partai politik yang sedang berkuasa merapatkan barisan, pasang
kuda-kuda memperkuat diri agar tetap menang dalam setiap pemilu, asal jangan
dengan merekayasa sistem pemilu. Agenda Reformasi sudah saatnya dikanibalkan
dengan dengungan jeritan hati nuarani rakyat yang bukan pejabat, yang jauh dari
kategori konglomerat, yang masuk barisan pengangguran. (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar