Halaman

Kamis, 17 April 2014

MELURUSKAN KIBLAT REFORMASI


Beranda » Berita » Opini
Kamis, 13/02/2003 09:14
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : MELURUSKAN KIBLAT REFORMASI
MELURUSKAN KIBLAT REFORMASI Bermula dari turunnya mahasiswa, pemuda dan berbagai komponen rakyat ke jalanan sampai nangkring di atap gedung MPR/DPR Senayan (simbolnya penyalur tunggal aspirasi rakyat melalui sistem permusyawaratan/perwakilan), mengakibatkan lengser keprabonnya sang penguasa tunggal Orde Baru. Tekanan massa saat itu hanya didukung oleh sedikit tekanan politis dari beberapa pembantu presiden dari Golongan Karya. Puncak peristiwa 21 Mei 1998 tersebut telah numpang lahir era Reformasi.

CACAT SEJARAH
Karena yang sifatnya numpang lahir maka menjelang lima tahun peristiwa nasional tadi malah membuktikan bahwa era Reformasi telah cacat sejarah sebagai cacat bawaan. Tekanan massa memang jitu untuk menggoalkan suatu tuntutan. Tetapi tanpa tekanan hukum, politis, militer, ekonomi dan moral suatu rejim sulit dilengserkan sampai keakar-akarnya. Sebagai bangsa timur masih banyak jebolan Orde Baru yang masih setia kepada tuannya, ditunjukkan dengan berbagai cara. Cacat sejarah era Reformasi semangkin dibuktikan dengan mereka yang mengandalkan massa maka secara naluri politis dapat berbuat kuasa, akhirnya sebagai penguasa negara. Sistem ke-Orba-an masih dipraktekkan oleh para penyelenggara negara, penegak hukum, politikus, aparat keamanan, pemegang kendali ekonomi nasional - bahkan telah merambah sampai ke tingkat pemerintah daerah (sebagai wujud otonomi pemerintah daerah). Lucunya lagi, para alim ulama ada yang ikut-ikutan berpartai poltitik, dalam upaya mengejar dunianya karena kalau jadi oposan tetap miskin. Tanpa tekanan hukum maka perwujudan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN, politik uang; berwibawa menghadapi tekanan asing dan kekuatan internasional serta manusiawi dalam menyikapi disintegrasi bangsa hanya akan berakhir sia-sia. Krisis moneter berlanjut dengan berbagai krisis kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat maupun beragama sudah mencapai puncak klimaksnya. Terminal terakhir era Reformasi diwujudkan dengan pengkotak-kotakan massa sambil memperkuat diri, membetengi diri, memagari diri, melindungi diri dan mengaktualisasikan diri dalam format partai politik. Sisi lain cacat bawaan, justru selama pada era Reformasi walau telah "diperkuat" dengan 3 presiden tekanan militer malah menunjukkan jati dirinya. Penerapan hukum atas pelaku tindak pidana oleh otak komando sulit dilaksanakan, terlebih kejadian di zaman Orba. Kalaupun dilaksanakan dengan setengah hati, prajurit lapangan akan dikorbankan. Koordinasi dengan aparat keamanan menyebabkan seorang buron bisa lenggang kangkung. Alasan keamanan menyebabkan para investor mancanegara enggan menanamkan modal di NKRI. Beda dengan demi mengamankan modal banyak konglomerat hitam memarkirkan dananya di luar negeri.

KRAN DEMOKRASI
Terbukanya kran demokrasi berimbas pada munculnya berbagai tokoh "gerakan bawah tanah", bak menunggu kesempatan dalam kesempitan, yang tanpa tedeng aling-aling berambisi jadi kandidat calon presiden. Manusia pengambisi ini datangnya dari kalangan yang "dia pikir dia pintar", paling tidak termasuk dari jajaran makhluk berakal, yang biasa berakal bulus maupun akal-akalan. Dipikir jadi presiden memang enak, walau cukup satu periode saja. Soal bagaimana membayar lunas hutang-hutang yang telah meliwati jatuh tempo, bagaimana mengutuhkan nasionalisme dan persatuan bangsa, bagaimana memulihkan perekonomian bangsa yang telah terpuruk sampai lembah bawah, bagaimana memraktekkan hukum secara benar dan tanpa pandang bulu yang mana, bagaimana menggalang kekuatan ekonomi yang berbasis kerakyatan tanpa merusak lingkungan, bagaimana memposisikan aparat keamanan secara profesional serta masih segudang pekerjaan rumah yang menghadang, agaknya hanya akan menjadi retorika kampanye saja. Agenda Reformasi yang didengungkan di awal lahirnya selama ini memang belum ada evaluasinya secara formal. Agendanya memang idealis tetapi menghadapi realitas jelas banyak tantangan. Silang kata atau adu kuasa antar penyelenggara negara dalam menghadapi suatu kasus, gotong-royong menjarah kekayaan bangsa menjadi ciri era Reformasi. Pagi jadi kawan, sore jadi lawan. Sekarang sekutu, besok seteru. Atau karena keberhasilan era Reformasi dimulai dari puncaknya, yaitu pada saat melengserkeprabonkan sang penguasa tunggal Orde Baru. Penurunan prestasi era Reformasi sudah mendekati landasan dasar menjelang Pemilu 2004. Para pengamat atau pemerhati persoalan bangsa yang semula hanya berperan sebagai penonton bak bonek, akhirnya berjibaku turun gelanggang sebagai pemain, ternyata mainnya lebih ganas dan liar dibanding pemain yang digantinya.

KEHIDUPAN BATIN
Sisi lain dari biang cacat sejarah era Reformasi adalah tidak adanya motifasi batin, kehidupan batin, perjalanan batin apalagi ikatan batin para sponsornya. Beda dengan runtuhnya rejim Orde Lama yang melahirkan Angkatan 1966. Sampai kini pun Angkatan 1966 masih berkibar, sejelek-jeleknya anak cucunya sudah panen raya secara ekonomi atau punya kuasa walau pada level klas teri kualitas eksport. Sedangkan kawanan sponsor era Reformasi malah jegal-menjegal dalam lingkaran, cakar-cakaran adu tebal muka terhadap aspirasi masyarakat, apalagi gesekan hati nurani rakyat. Opini media massa dikatakan njomplang oleh penguasa negara, para pengunjuk rasa dan penyambung rasa di jalanan didakwa ada pemodalnya utawa aktor intelektualnya berdasarkan laporan intelejen lokal tetapi penjual aset bangsa disanjung. Agar para Reformis tidak kebablasan dan salah langkah dalam menghadapi sistem ke-Orba-an sekaligus sistem ke-Orla-an yang menjiwai sebagian besar kawanan Reformis kini diperlukan kiat yang sangat sederhana dan alami. Entah apa nama dan wujudnya. Paling tidak kesadaran diri sangat diperlukan. Boleh saja partai politik yang sedang berkuasa merapatkan barisan, pasang kuda-kuda memperkuat diri agar tetap menang dalam setiap pemilu, asal jangan dengan merekayasa sistem pemilu. Agenda Reformasi sudah saatnya dikanibalkan dengan dengungan jeritan hati nuarani rakyat yang bukan pejabat, yang jauh dari kategori konglomerat, yang masuk barisan pengangguran. (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar