Kembali Menggunakan Akal Sesuai Nalar Islam
Ditulis : Herwin Nur, 02 April 2014 | 14:22
Dalil mempergunakan akal, kurang akal, mempunyai akal, lemah akal sebagai substansi istimewa yang diingatkan Allah dalam Al-Qur’an, khususnya di [QS Ali ‘Imran (3) : 190] :“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” Tanda kekuasaan Allah di jagat raya sebagai ayat kauniyah, diperlukan seperangkat akal untuk membacanya.
Ironis, ketika berbagai bencana alam menyapa bangsa kita nyaris secara rutin, hanya dianggap sebagai fenomena alam di bumi yang sedang sakit dan semakin tua. Jika ada yang menganggap sebagai peringatan dini dari Allah, bersikap pasrah tanpa langkah muhasabah dan tanpa gerakan proaktif dan antisipatif. Musibah dianggap sebagai dampak dosa bersama dan harus ditanggung bersama.
Manusia mengandalkan otaknya untuk menyikapi tanda alam maupun tanda zaman. Otak manusia sebagai pembangkit daya pikir, daya ucap dan daya tindak. Daya kerja otak sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh bukti inderawi. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan akal sebagai salah satu kriteria penetapan hukum-Nya sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani atau terbebas dari sanksi hukum-Nya. Rasulullah saw bersabda: “Pena diangkat dari tiga golongan : orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR Ibnu Khuzaimah).
Mencari Pembenaran
Di bumi Indonesia yang serba bebas dan kreatif, sehingga karena kemungkaran dilakukan secara formal, massal dan menerus, kita sudah tidak bisa membedakan mana yang mungkar dengan mana yang tidak mungkar. Semboyan yang haram pun susah dicari apalagi yang halal, melandasi faham demi mencapai tujuan menghalalkan sebagal cara. Manusia dengan sadar melupakan dosa kecil, dosa harian karena mengikuti aturan main hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Manusia menterjemahkan kata kunci ‘orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh’ dengan penyakit lupa, pura-pura tidak tahu, tidak melihat dan tidak mendengar, merasa ditekan dan diintimidasi oleh pihak tertentu, mengikuti keinginan dan tutntutan penggemar, bersifat spontan dan tanpa terencana, serta berbagai alasan yang tidak masuk akal. Hukum manusia hanya bisa diterapkan pada tersangka yang kondisinya sadar sesadar-sadarnya, sehat sesehat-seharnya. Di pengadilan manusia, tersangka mendadak alim, mendadak miskin, mendadak sakit bawaan kambuh, menjual tangis dan rasa haru merasa sebagai pihak yang dizalimi, memanipulasi watak diri sebagai yang benar, tidak mau jadi korban sendirian.
Ada korelasi, semakin tinggi tingkat akal seseorang, semakin canggih modus operandi pelanggaran hukumnya. Di sisi lain, diawali dari pemikiran sederhana dilaksanakan dengan tekun, menghasilkan kemanfaatan bersama, kemaslahatan bagi umat.
Dampak Mengkultuskan Akal
Orang yang mengkultuskan akalnya maupun orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, sama artinya dengan menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya.
Salah satu dampak mengkultuskan akal, mendewa-dewakan akal, bahkan mempertuhankan akal, manusia bisa berperi laku seperti iblis. Kita simak [QS Al A’raaf (7) : 12] : “Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."
Di era persaingan bebas untuk urusan dunia, kita sulit menentukan mana kawan mana lawan, kita susah memilih mana sekutu mana seteru, kita rumit memilah mana sahabat mana pengkhianat, karena manusia mengulang kata iblis : “saya lebih baik”, lebih bisa, lebih layak, lebih pantas, lebih cerdas dari orang lain.
Sudah saatnya kita kembali menggunakan akal sesuai koridor dan syariat Islam, baik pada saat membaca tanda alam, tanda zaman maupun pada waktu berpikir, berucap dan bertindak. Dampak menggunakan akal dalam ambang kapasitas minimal (tidak mau berpikir) maupun dalam batasan atau skala optimal (di luar akal manusia), tidak hanya bersifat individual namun bisa bersifat massal. (Herwin Nur/Wasathon.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar