Halaman

Selasa, 23 September 2014

Posisi Tawar Umat Islam

 Humaniora     Dibaca :60 kali , 0 komentar

Posisi Tawar Umat Islam

 Ditulis : Herwin Nur 12 September 2014 | 04:03

 Bicara soal peta dunia, kondisi dan potensi geografi dan demografi Indonesia patut diperhitungkan. Ironis, di kancah politik dunia dan pasar maupun perdagangan bebas dunia, posisi dan peran Indonesia kurang mempunyai nilai tawar, apalagi sebagai penentu. Minimal hanya sebagai mediator atau penengah konflik antar agama di suatu negara. Bangga jika berhasil sebagai tuan rumah pertemuan kepala negara negara-negara berkembang. Merasa sukses setelah mempertemukan para menteri keuangan negara penghutang.
Politik luar negeri yang bebas aktif dibuktikan dengan mengirim Kontingen Garuda sebagai pasukan perdamaian ke negara konflik. Respon terhadap konflik berkepanjangan, menghimbau pun seolah tidak mampu, apalagi mengkritik pedas.  Format ekonomi nasional mengacu pada kepentingan ekonomi global, sesuai petunjuk dan arahan kepentingan asing. Indonesia pensuplai utama tenaga kerja ke mancanegara, semakin menambah daftar panjang nilai jual sebagai bangsa besar. 
Bincang tentang sejarah Indonesia, tak akan lepas dari kiprah, kontribusi maupun kinerja umat Islam. Ironis, jumlah penduduk Indonesia terbanyak memeluk agama Islam, tidak otomatis menjadikan umat Islam mayoritas dalam hal unggul, menjadi tuang rumah. Bahkan menentukan nasibnya sendiri hanya sebatas di atas kertas. Atas nama HAM menghalalkan tirani minoritas menjelma menjadi penguasa tunggal atas berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
Perjalanan waktu industri politik Nusantara, saat Pemilu Legislatif 9 April 2014 dan Pilpres 9 Juli 2014, eksistensi partai politik Islam tak jauh meleset dari opini masyarakat, tak jauh menyimpang dari ramalan para ahli pengamat politik atau tak jauh bergulir dari dugaan hasil lembaga survei. Politik dalam negeri tidak mengacu pada negara maju, kecuali upah buruh, harga BBM, tarif dasar listrik. Pakem politik Pancasila secara sah dan konstitusional menjadikan politik sebagai panglima. Trias politik dibawah satu kendali yaitu partai politik. Parpol hanya di legislatif sebagai wakil rakyat merasa tidak punya taring, ikut nangkring dan nongkrong di eksekutif (paling tidak sebagai kepala daerah), agar lebih bernyali sekalian buka kapling di yudikatif. 
Pelaku ekonomi negara agraris didominasi petani gurem, petani penggarap, jauh dari kategori pemodal. Pasar tradisional selalu kalah dan salah melawan perambahan pasar modern yang menjangkau setiap jalur jalan stategis. Tanaman non-pangan yaitu tembakau, dari hulu sampai hilir, dikuasai sistem perdagangan bebas. Ahli hisap dan perokok pasif jadi korban rupiah / kesehatan. 
Tahu dan tempe sebagai makanan rakyat, ketersediaan bahan bakunya yaitu kedelai tergantung kebijakan luar negeri. Urusan garam dapur sudah ada yang menangani secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Daging sapi memang bagian intergral dari politik dagang sapi, harganya sesuai selera. Muncul istilah daging gelonggong. Rakyat mengkonsumsi daging ayam pedaging yang besar karena hormon atau rekayasa kimiawi. Muncul isitilah ayam tiren. Lagi-lagi, rakyat jadi korban. 
Menghadapi masalah bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, umat Islam berada dalam satu barisan, bukan karena semangat ukhuwah. Karena kepentingan dengan kalkulasi duniawi. Tentunya umat Islam tak mau mengulang tindakan dan kesalahan yang sama, yang nyata-nyata kita bisa bercermin pada parpol Islam. 
Wajar, kalau umat Islam terjebak nuansa panjang angan-angan, entah karena tekanan kondisi nyata atau acap melihat ke rumput tetangga. Jangan lupa, bahwa pembalasan itu sesuai dengan perbuatan bukan menurut angan-angan, tersurat dalam [QS An Nisaa'   (4) : 123] : "(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” 
Ironis, dunia pendidikan dan kesehatan yang juga ditangani ormas Islam, pengurusnya merasa akan lebih bisa berbuat banyak jika dapat jatah kursi menteri pendidikan dan menteri kesehatan. Apa kata dunia? [HaeN/Wasathon.com].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar