Halaman

Senin, 29 September 2014

Partai Politik Bukan Orang Tua Tunggal

Partai Politik Bukan Orang Tua Tunggal


Bukti Sejarah
Kita buka PEMBUKAAN (Preambule) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya simak makna alenia/paragraf kedua :
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Secara historis, kalimat ‘yang merdeka, bersatu, berdaulat’, menjadi landasan hukum dan moral Pemerintah Orde Lama (orla). ‘Adil dan makmur’  menjadi lagu wajib Pemerintah Orde Baru (orba) yang dijabarkan dan diwujudkan dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita, dilaksanakan Pelita I s.d Pelita VI).

Pemerintah Orla mapun Orba di bawah satu kendali, satu tangan yaitu presiden. Kedaulatan rakyat di zaman bung Karno, disinerjikan dengan kedaulatan negara. Peran partai politik (parpol) bukannya tidak nyata atau masuk kategori dominan, walau hanya sekali Pemilu 1955. Nasakom-nya bung Karno malah memberi peluang kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan dua kali kudeta atau makar, Madiun Affair 18 September 1948 dan Gerakan 30 September 1965.

Kedaulatan negara menjadi lebih menonjol, dominan di era Orba, agar tidak terjadi disintegrasi bangsa. Nasib kedaulatan rakyat, pemerintah Orba  bersama DPR dengan gemilang menyederhanakan jumlah partai melalui UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar. Hasilnya,  5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 peserta tetapnya hanya tiga yaitu PPP, PDI dan Golkar.


Trias Politika
Pasca 21 Mei 1998, kran demokrasi terbuka bebas, mengucur deras. Anak bangsa berlomba mendirikan parpol agar bisa ikut Pesta Demokrasi. Menjadi ketua umum parpol identik jadi capres, apesnya jadi pembantu presiden. Rakyat dibiarkan terjun bebas memperjuangkan nasibnya, melalui unjuk rasa dan unjuk raga turun ke jalan.

Wakil rakyat mendadak peduli dan tampil di media, seolah membela rakyat, jika menyangkut popularitasnya. Strategi mendapat simpati dari pemilih, khususnya pemilih pemula, langkah kampanye terselubung. Kedaulatan rakyat diartikan, hak rakyat sekaligus kewajiban rakyat adalah ikut aktif saat coblosan di hari pemilu legislatif, pilpres dan pilkada.

Periode 1999-2004 diisi dua presiden, serta periode 2004-2009 dan 2009-2014 atau satu dekade hanya diisi satu presiden bukannya tampa dampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Walau DPR dianggap  taman kanak-kanak oleh Gus Dur, namun cengkeramannya bisa memplesetkan bahkan menggelincirkan eksekutif dan yudikatif.

Legislatif memang sebagai jalur khusus parpol. Karena buta politik dan serakah dunia, parpol ingin merambah jalur lain. Mengincar jatah kursi pembantu presiden. Jabatan strategis di jalur yudikatif jadi arisan parpol pemenang pesta demokrasi. Parpol menjadi orang tua tunggal, semua peran dilakukan atau di bawah kendali. Antar komponen trias politika tidak terjadi saling kontrol, saling mengawasi, saling mengingatkan. Tidak terjadi asas keseimbangan.


Pasal UU direkayasa agar menguntungkan atau mendukung kepentingan pekerja politik. Kebijakan parpol adalah perpaduan buah politik balas jasa dengan balas dendam. Rakyat secara individu dan independen tidak diberi ruang dan peluang maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Ironisnya, bahkan rakyat tidak mempunyai hak pilih untuk memilih gubenur maupun bupati/walikota. DPRD sesuai UU Pilkada diberi wewenang memilih kepala daerah. Disintegrasi dicari jalan keluarnya dengan otonomi daerah, agar industri politik tetap jalan, agar parpol merasa berhasil jika mendapat kursi wakil rakyat atau pemimpin rakyat. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar