Mencari Format Tampilan Generasi Islam Di Industri
Politik
Satunya Kata Dengan Tindakan
Menarik kita simak analisa Pengamat Perilaku, pada
acara TVone Jumat, 19 September 2014 sore, yang merespon Rakernas IV PDIP di
Semarang, Jawa Tengah. Salah satu sosok yang disorot adalah Ketua DPP PDIP,
yang kebetulan anak kandung Ketum PDIP, saat memberikan sambutan pembuka.
Nada dan suara pidato Puan datar, komentar pertama yang disampaikan sang
Pengamat. Artinya, tanpa emosi, hambar dan tidak ada penekanan pada substansi
yang penting. Bahkan, cara jalan pun jadi bahan bicara sang Pengamat. Jalannya
Puan saat menuju mimbar, tidak menunjukkan keakuan sebagai parpol besar,
pemenang pemilu, komentar kedua yang diutarakan sang Pengamat sambil merenung.
Komentar ketiga, atau terakhir, sang Pengamat sambil geleng kepala bilang, Puan
diwawancarai tentang peluang jadi Ketua DPR terjegal UU MD3. Jawaban Puan tidak
menyangkut substansi. Bahkan peluang jadi menteri di kabinet, tidak direspon
secara substansial.
Padahal semua rakyat sadar politik, bahwa ilmu dan
kadar politik Puan berkat di bawah asuhan, didikan maupun praktek langsung oleh
mantan Wakil Presiden RI ke-8 sekaligus mantan Presiden RI ke-5. Bayangkan,
jika individu generasi muda Islam, yang bukan siapa-siapa, bukan anak
siapa-siapa, bukan dan tidak mempunyai keturunan darah politik, tidak punya
akses publikasi media masa, tidak punya modal politik, jangan-jangan bisa
tumpas sebelum tunas. Layu sebelum melaju. Tumbang sebelum maju ke gelanggang.
Generasi muda Islam optimis untuk terjun ke industri
politik secara total, dari hulu sampai hilir. Bukan sebagai penggembira, bukan
sebagai pelengkap penderita, bukan sebagai pembeli produk partai politik. Karena
umat Islam pada umumnya mempunyai paket reliji, yaitu antara pikiran, ucapan
dan tindakan dikemas dalam satu sistem kesatuan. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul
sudah menyuratkan serta menyuratkan adab berjalan, berbicara, dsb.
Paket Reliji
Bahkan cara berjalan berkorelasi dengan cara bicara, telah digariskan [QS Luqman (31) : 19] : “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan[*]
dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
[*] Maksudnya: ketika kamu berjalan,
janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat.
Batasan ‘janganlah
terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat’ sebagai adab berjalan atau mencontoh cara
Rasulullah saw berjalan. Dalam strata tertentu bisa bersifat universal. Bisa
juga dirumuskan berdasarkan berbagai aspek ilmu pengetahuan maupun adat
istiadat.
Acara, atraksi, adegan berbasis dialog,
diskusi dan debat yang menjadi andalan media penyiaran tv, bukannya tanpa
dampak bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa politik generasi muda Islam.
Kontaminasi akibat secara tak sadar mengidolakan cara bicara artis, selebiris
atau politisi sipil saat diwawancarai wartawan tv. Gaya bicara memang berkaitan
erat dengan kualitas diri. Tak salah pendapat orang jika IQ seseorang
bisa dilacak dari gaya bicaranya. ESQ tercermin pada cara berbicara dan
cara bertindak.
Kemenangan partai politik dalam pesta
demokrasi diukur dari peroleh suara sah dari pemilih. Di industri politik masih
berlaku faham/dogma yaitu siapa yang banyak bicara, yang mahir mengolah dan mempermainkan
kata, yang pandai berucap dan bercuap, yang pakar silat lidah, yang ahli
berdebat, akan unggul. Yang nampak bekerja seolah peduli nasib bangsa. Modal
utama menjadi pekerja politik adalah modal mulut.
Keutamaan orang yang meninggalkan
berdebat walaupun dia benar, sebagai -mana sabda Rasulullah saw : “Aku
adalah pemimpin pada sebuah tempat di surga bagi orang yang meninggalkan
perdebatan walaupun dia benar” (HR Bukhari).
Bukan berarti generasi muda Islam memilih
gerakan tutup mulut [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar