Posisi Dan Nilai Tawar Umat Islam Di Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa Dan Bernegara.
Bangsa Besar
Bicara soal peta dunia, kondisi dan
potensi geografi dan demografi Indonesia patut diperhitungkan. Ironis, di
kancah politik dunia dan pasar maupun perdagangan bebas dunia, posisi dan peran
Indonesia kurang mempunyai nilai tawar, apalagi sebagai penentu. Minimal hanya sebagai
mediator atau penengah konflik antar agama di suatu negara. Bangga jika berhasil
sebagai tuan rumah pertemuan kepala negara negara-negara berkembang. Merasa
sukses setelah mempertemukan para menteri keuangan negara penghutang.
Politik luar negeri yang bebas aktif
dibuktikan dengan mengirim Kontingen Garuda sebagai pasukan perdamaian ke
negara konflik. Respon terhadap konflik berkepanjangan, menghimbau pun seolah
tidak mampu, apalagi mengkritik pedas. Format ekonomi nasional mengacu pada
kepentingan ekonomi global, sesuai petunjuk dan arahan kepentingan asing.
Indonesia pensuplai utama tenaga kerja ke mancanegara, semakin menambah daftar
panjang nilai jual sebagai bangsa besar.
Bincang tentang sejarah Indonesia, tak
akan lepas dari kiprah, kontribusi maupun kinerja umat Islam. Ironis, jumlah
penduduk Indonesia terbanyak memeluk agama Islam, tidak otomatis menjadikan
umat Islam mayoritas dalam hal unggul, menjadi tuang rumah. Bahkan menentukan
nasibnya sendiri hanya sebatas di atas kertas. Atas nama HAM menghalalkan tirani
minoritas menjelma menjadi penguasa tunggal atas berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Serba Rakyat
Perjalanan waktu industri politik
Nusantara, saat Pemilu Legislatif 9 April 2014 dan Pilpres 9 Juli 2014,
eksistensi partai politik Islam tak jauh meleset dari opini masyarakat, tak
jauh menyimpang dari ramalan para ahli pengamat politik atau tak jauh bergulir dari
dugaan hasil lembaga survei. Politik dalam negeri tidak mengacu pada negara
maju, kecuali upah buruh, harga BBM, tarif dasar listrik. Pakem politik
Pancasila secara sah dan konstitusional menjadikan politik sebagai panglima.
Trias politik dibawah satu kendali yaitu partai politik. Parpol hanya di
legislatif sebagai wakil rakyat merasa tidak punya taring, ikut nangkring dan
nongkrong di eksekutif (paling tidak sebagai kepala daerah), agar lebih
bernyali sekalian buka kapling di yudikatif.
Pelaku ekonomi negara agraris didominasi
petani gurem, petani penggarap, jauh dari kategori pemodal. Pasar tradisional
selalu kalah dan salah melawan perambahan pasar modern yang menjangkau setiap
jalur jalan stategis. Tanaman non-pangan yaitu tembakau, dari hulu sampai
hilir, dikuasai sistem perdagangan bebas. Ahli hisap dan perokok pasif jadi
korban rupiah / kesehatan.
Tahu dan tempe sebagai makanan rakyat,
ketersediaan bahan bakunya yaitu kedelai tergantung kebijakan luar negeri. Urusan
garam dapur sudah ada yang menangani secara sistematis, masif dan
berkelanjutan. Daging sapi memang bagian intergral dari politik dagang sapi,
harganya sesuai selera. Muncul istilah daging gelonggong. Rakyat mengkonsumsi
daging ayam pedaging yang besar karena hormon atau rekayasa kimiawi. Muncul
isitilah ayam tiren. Lagi-lagi, rakyat jadi korban.
Panjang Angan-Angan
Menghadapi masalah bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, umat Islam berada dalam satu barisan, bukan karena
semangat ukhuwah. Karena kepentingan dengan kalkulasi duniawi. Tentunya umat
Islam tak mau mengulang tindakan dan kesalahan yang sama, yang nyata-nyata kita
bisa bercermin pada parpol Islam.
Wajar, kalau umat Islam terjebak nuansa
panjang angan-angan, entah karena tekanan kondisi nyata atau acap melihat ke rumput
tetangga. Jangan lupa, bahwa pembalasan itu sesuai dengan perbuatan bukan
menurut angan-angan, tersurat dalam [QS An Nisaa'
(4) : 123] : "(Pahala dari Allah) itu bukanlah
menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli
Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan
dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong
baginya selain dari Allah.”
Ironis, dunia pendidikan dan kesehatan
yang juga ditangani ormas Islam, pengurusnya merasa akan lebih bisa berbuat
banyak jika dapat jatah kursi menteri pendidikan dan menteri kesehatan. Apa
kata dunia? [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar