Halaman

Kamis, 18 September 2014

Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk (Bukan) Rakyat

Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk (Bukan) Rakyat


Strip Abang
Di dunia militer dikenal prajurit strip abang, serdadu yang siap maju duluan (atau bahkan dikontrak mati duluan). Peran mereka sebagai serdadu ujung tombak terkait keamanan atau bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Serdadu strip abang tidak mengenal politik luar negeri, namun mereka siap ditempatkan di daerah perbatasan negara, berjaga 24 jam. Rombongan pertama yang berjibaku di lokasi bencana alam, ketika kawanan politisi sipil di jajaran pemerintah yang peduli nasib rakyat sibuk rapat koordinasi.

Unjuk rasa dan unjuk raga berbagai elemen masyarakat, yang acap menjurus anarkis, mengganggu ketertiban dan kepentingan umum, merongrong eksistensi negara, mau tak mau, serdadu/polisi strip abang diterjunkan berhadapan langsung dengan warga negara strip abang alias rakyat.

Sosok Rakyat
Di jalanan, sosok rakyat yang mempunyai keahlian / keterampilan mengemudi angkutan umum, tanpa peduli ngetem di bahu jalan, di tikungan, di persimpangan atau berhent mendadak. Bunyi klakson, raungan bajaj serta sumpah serapah pemakai lalu lintas yang antri di belakangnya, tak mampu mengusik nuraninya (utawa soal moral?). Kepentingan menjaring penumpang dan uber setoran menjadi pilihan utama.

Di jalanan, motor telah menjadi raja jalanan. Menjadi angkutan pribadi yang praktis dan berdaya tampung melebihi kapasitasnya. Antar anak sekolah, berangkat kerja, angkut barang dagangan sampai menjadi ojeg. Dalam kategori tertentu mereka jadi setan jalanan.

Di jalanan, memang banyak rakyat berkeliaran. Mengkais rejeki pagi. Menjadi pemulung, tukang kais sampah. Mencari sesuap nasi. Mengelola ekonomi sehari. Mereka hidup dari jalanan. Jalan menjadi ladang utama. Menjalankan bisnis jalanan.

Di jalanan, ada hukum yang berlaku. Aturan main tilang, tarif parkir, PKL, tukang palak, tukang parkir, penjual koran di lampu merah, Pak Ogah yang berbagai pasalnya tidak memihak rakyat. Ironis, di jalanan tergelar episode rakyat makan rakyat?.

Di jalanan, demokrasi berjalan bebas berbasis manusia bebas, melahirkan free man. Preman. Banyak kejadian di jalanan yang mengilhami penguasa negara. Celakanya banyak rakyat yang pandai menghujat para pemimpin bangsa. Tetapi mereka tak pernah bercermin, bagaimana caranya menjadi rakyat bermartabat.

Wacana Politik
Di industri politik, warga negara strip abang alias rakyat dibutuhkan secara kuantitas saat pesta demokrasi lima tahun sekali. Bakal calon wakil rakyat, bakal calon kepala daerah sampai bakal calon kepala negara, mendadak peduli rakyat. Turun ke lapangan, blusukan ke kantong-kantong rakyat, merangkul rakyat, merebut simpati rakyat. Ujung-ujungnya agar rakyat memilihnya saat hari coblosan. Rakyat diposisikan hanya sebagai pembeli produk parpol yang loyal, bukan sebagai order produk parpol.

Menjadi wakil rakyat, kepala daerah maupun kepala negara di pasca Reformasi cukup berat dan sarat aturan main secara politis. Salah tindak bisa ditindak, salah pilih orang bisa jadi bumerang, salah hafal bisa terjerat pasal, salah kata bisa menjadi fakta, salah fatwa bisa menjadi terdakwa. Tidak hanya pada prasyarat, tetapi juga khususnya pada waktu menerima amanah sebagai wakil/pemimpin rakyat. Konflik internal parpol malah membuktikan bagaimana urusan dapurnya.

Tidak semua babakan kehidupan bisa dipelintir apalagi dipolitisir. Tidak semua kejadian patut ditayangkan sebagai ajang gengsi percaturan politik tingkat nasional. Tidak semua peristiwa menjadikan kita semakin merana, atau semakin waspada, siapa mencurigai siapa. Bahasa jelasnya, rakyat masih dijadikan obyek politik. Fungsi rakyat hanya sebagai pelengkap penderita jalannya revolusi mental.

Jebakan Dunia
Fiman Allah yang berlaku sepanjang zaman,  diabadikan dalam Al-Qur’an [QS Huud (11) : 15] :  Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”

Dalam berbagai aspek dan sendi kehidupan bermasyarakat, seolah rakyat dibiarkan berjuang sendiri, berjuang menentukan nasib dan masa depannya. Domain, kutub, atau mazhab berbangsa dan bernegara bisa bertolak belakang dengan kesejahteraan rakyat.

Terjadi, pekerja politik bisa “sejahtera” duniawi dengan mengorbankan nasib rakyat, membisniskan amanah, menggadaikan masa depan bangsa [Haen]

-----------------






Tidak ada komentar:

Posting Komentar