Halaman

Sabtu, 13 September 2014

Kepercayaan Masyarakat Terhadap Polisi

Kepercayaan Masyarakat Terhadap Polisi


Sebagai alat negara yang berkewajiban memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman; Polri juga berkewajiban memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (kamdagri). Oleh karena itu, kebijakan peningkatan profesionalisme Polri dilakukan melalui pembinaan kinerja Polri dengan meningkatkan kompetensi pelayanan inti, manajemen operasional, pengembangan sumber daya organisasi dan manajemen perilaku, termasuk penerapan program “quick win” oleh Polri sampai ke tingkat Polres di seluruh wilayah NKRI. Dalam periode 2010 – 2014, Polri telah melakukan penambahan sebanyak 50.000 anggota Polri untuk mencapai tingkat rasio dengan masyarakat menjadi 1 : 575. Rekrutmen personil Polri dilakukan secara transparan dan telah mendapat sertifikat manajemen mutu ISO 9001:2008. Dalam hal penuntasan penanganan tindak kejahatan, selama tahun 2010 sampai dengan Juni 2013 rata-rata terselesaikan lebih dari 55% untuk semua kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan konvensional, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan kejahatan yang berimplikasi kontijensi. Sementara itu, pelanggaran anggota Polri baik dalam bidang tata tertib, disiplin, pidana, etika profesi, maupun pemberhentian tidak hormat menunjukkan kecenderungan menurun.

Sebagai salah satu bagian proses reformasi, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah menjadi institusi yang mandiri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sejak 1 April 1999. Polri yang sebelumnya disubordinasi oleh militer kini dituntut menjadi kekuatan sipil negara yang melindungi jiwa, harta benda dan hak rakyat Indonesia serta tugas dan tanggungjawabnya dengan kemampuan teknis profesional yang khusus. Kemampuan profesional tersebut antara lain intelijen kepolisian, reserse, satuan bhayangkara, lalu lintas, dan brigade mobil yang didukung pula dengan teknologi kepolisian seperti laboratorium kriminil, identifikasi kriminil, komunikasi elektronik, serta manajemen kepolisian yang dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia dan dukungan anggaran. Tugas polisi akan jauh lebih mudah jika masyarakat mendukung, bekerjasama, dan mempercayai polisi sebagai institusi keselamatan publik. Dukungan ini vital karena tugas polisi sendiri merupakan ‘the impossible mandate’ (mandat mustahil), yang mencakup penerapan hukum (yang terkadang tidak populer), melindungi dari kejahatan (dari yang ringan, terkejam, sampai dengan yang paling berbahaya), menyelesaikan masalah (dari yang ringan hingga paling berat), melayani kebutuhan publik (terlepas dari sikap dan sendirian publik) dengan santun, rasa hormat, profesionalisme dan sikap tidak berpihak (Haberfeld, 1998).

Kolaborasi masyarakat dengan Polri dalam menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban yang efektif hanya dimungkinkan jika Polri tidak terkesan sebagai pelaku kekerasan, penembakan, atau pemburuan di mata masyarakat. Alih-alih menjadi dekat dan mendukung polisi, dengan kesan sangar seperti itu, masyarakat akan cenderung merasa awas dan menjaga jarak terhadap polisi. Dukungan masyarakat terhadap Polri menjadi lebih sulit lagi didapatkan ketika citra yang tertanam di benak publik adalah yang negatif yang pada gilirannya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Ketidakpercayaan terhadap polisi terlihat dari banyaknya aksi penyerangan terhadap markas dan anggota Polri. International Crisis Group (ICG) mencatat sejak Agustus 2010 - Februari 2012 terdapat 40 aksi penyerangan terhadap markas dan anggota Polisi. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa pemolisian masyarakat (Polmas) belum berjalan secara optimal. Fakta ini juga didukung oleh masih tingginya pelanggaran anggota Polri meskipun kecederungannya semakin menurun. Dalam kurun waktu tahun 2009 – Juni 2013 sebanyak 79.984 anggota melanggar tata tertib, 25.512 anggota melanggar disiplin, 2.749 anggota melakukan pidana, 2.001 anggota melakukan pelanggaran etika profesi, dan 1.442 anggota diberhentikan dengan tidak hormat. Bahkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2013 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden yang disurvei menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum dan hampir 50% responden tidak percaya polisi dapat bersikap adil. Risiko ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi dapat berujung pada ketidakpercayaan terhadap pemerintah, pelanggaran hukum, serta main hakim sendiri.

(sumber RKP 2015, Buku II Prioritas Pembangunan Bidang, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2014)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar