Kepercayaan Masyarakat Terhadap Polisi
Sebagai alat negara
yang berkewajiban memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman; Polri juga berkewajiban
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri (kamdagri). Oleh karena itu, kebijakan peningkatan profesionalisme
Polri dilakukan melalui pembinaan kinerja Polri dengan meningkatkan kompetensi
pelayanan inti, manajemen operasional, pengembangan sumber daya organisasi dan
manajemen perilaku, termasuk penerapan program “quick win” oleh Polri
sampai ke tingkat Polres di seluruh wilayah NKRI. Dalam periode 2010 – 2014,
Polri telah melakukan penambahan sebanyak 50.000 anggota Polri untuk mencapai
tingkat rasio dengan masyarakat menjadi 1 : 575. Rekrutmen personil Polri
dilakukan secara transparan dan telah mendapat sertifikat manajemen mutu ISO
9001:2008. Dalam hal penuntasan penanganan tindak kejahatan, selama tahun 2010
sampai dengan Juni 2013 rata-rata terselesaikan lebih dari 55% untuk semua
kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan konvensional, kejahatan
transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan kejahatan yang berimplikasi
kontijensi. Sementara itu, pelanggaran anggota Polri baik dalam bidang tata
tertib, disiplin, pidana, etika profesi, maupun pemberhentian tidak hormat
menunjukkan kecenderungan menurun.
Sebagai salah satu
bagian proses reformasi, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah
menjadi institusi yang mandiri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
sejak 1 April 1999. Polri yang sebelumnya disubordinasi oleh militer kini
dituntut menjadi kekuatan sipil negara yang melindungi jiwa, harta benda dan
hak rakyat Indonesia serta tugas dan tanggungjawabnya dengan kemampuan teknis
profesional yang khusus. Kemampuan profesional tersebut antara lain intelijen
kepolisian, reserse, satuan bhayangkara, lalu lintas, dan brigade mobil yang
didukung pula dengan teknologi kepolisian seperti laboratorium kriminil,
identifikasi kriminil, komunikasi elektronik, serta manajemen kepolisian yang dibarengi
dengan kualitas sumber daya manusia dan dukungan anggaran. Tugas polisi akan
jauh lebih mudah jika masyarakat mendukung, bekerjasama, dan mempercayai polisi
sebagai institusi keselamatan publik. Dukungan ini vital karena tugas polisi
sendiri merupakan ‘the impossible mandate’ (mandat mustahil), yang
mencakup penerapan hukum (yang terkadang tidak populer),
melindungi dari kejahatan (dari yang ringan, terkejam, sampai dengan yang paling
berbahaya), menyelesaikan masalah (dari yang ringan hingga paling berat),
melayani kebutuhan publik (terlepas dari sikap dan sendirian publik) dengan
santun, rasa hormat, profesionalisme dan sikap tidak berpihak (Haberfeld,
1998).
Kolaborasi
masyarakat dengan Polri dalam menciptakan dan memelihara keamanan dan
ketertiban yang efektif hanya dimungkinkan jika Polri tidak terkesan sebagai
pelaku kekerasan, penembakan, atau pemburuan di mata masyarakat. Alih-alih
menjadi dekat dan mendukung polisi, dengan kesan sangar seperti itu, masyarakat
akan cenderung merasa awas dan menjaga jarak terhadap polisi. Dukungan
masyarakat terhadap Polri menjadi lebih sulit lagi didapatkan ketika citra yang tertanam di benak publik adalah yang
negatif yang pada gilirannya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap
institusi Polri. Ketidakpercayaan terhadap polisi terlihat dari banyaknya aksi
penyerangan terhadap markas dan anggota Polri. International Crisis Group (ICG)
mencatat sejak Agustus 2010 - Februari 2012 terdapat 40 aksi penyerangan
terhadap markas dan anggota Polisi. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa
pemolisian masyarakat (Polmas) belum berjalan secara optimal. Fakta ini juga didukung
oleh masih tingginya pelanggaran anggota Polri meskipun kecederungannya semakin
menurun. Dalam kurun waktu tahun 2009 – Juni 2013 sebanyak 79.984 anggota melanggar
tata tertib, 25.512 anggota melanggar disiplin, 2.749 anggota melakukan pidana,
2.001 anggota melakukan pelanggaran etika profesi, dan 1.442 anggota
diberhentikan dengan tidak hormat. Bahkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia
(LSI) pada 2013 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden yang disurvei
menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum dan hampir 50% responden tidak
percaya polisi dapat bersikap adil. Risiko ketidakpercayaan masyarakat terhadap
polisi dapat berujung pada ketidakpercayaan terhadap pemerintah, pelanggaran
hukum, serta main hakim sendiri.
(sumber RKP 2015, Buku II
Prioritas Pembangunan Bidang, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar