Halaman

Minggu, 01 April 2012

KARENA AYAHKU, WALAU SEPERTIGA IBUKU (aku anak guru)


SEKILAS RENUNGAN
Pepatah pun bertutur : “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah”. Bukannya tanpa latar belakang yang mendasari pepatah tersebut atau makna filosofis dan filsafatinya. Sejarah secara tak sadar membuktikan betapa daya juang seorang ibu yang bisa melebihi kaum pria, tahan banting dan tahan menderita. Peran ibu diberbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tak kurang contohnya. Ibu sebagai orang tua tunggal (single parent) lebih tangguh daripada seorang bapak. Gema diskriminasi gender mengalami pasang surut, tergantung kepedulian politisi. Jangan mengambil iman sholat dari kaum hawa, sudah ditegaskan dalam Islam. Di dalam keluarga, demi masa depan anak, dibutuhkan proses dengan pendekatan akal sampai iman.

Dalam kehidupan yang universal, sesuai hadist rasul, sabda nabi Muhammad saw yaitu agar rasa hormat, rasa sayang, rasa bakti yang dicurahkan ke ibu, yang wajib anak lakukan,  sekecil 3 (tiga) kali dibanding ke ayah. Saat pelaksanaan tidak perlu memakai urutan, ke bapak dulu atau utamakan ibu. Bakti sebagai anak ke kedua orang tua dilakukan sampai akhir hayat.

Kewajiban anak terhadap orang tua :
§  Taat setiap saat kepada orang tua
§  Berbakti kepada orang tua
§  Memberi nafkah kedua orang tua
§  Nasihat anak kepada orang tua
§  Panjatkan doa untuk orang tua
§  Merawat orang tua

ANTARA MITOS DAN FAKTA
Apakah anda masuk kategori anak mama atau anak papa, dalam kondisi tertentu bisa masuk stigma, bisa menjadi anak manja atau menjelma menjadi anak tomboy. Bagaimana nasib anak yang diasuh oramg tua tunggal, apakah beda dengan yang diasuh oleh ayah bundanya. Aku bukan sebagai anak mama atau anak papa. “Anak saya yang ragil”, jelas ayah saat memperkenalkan aku. Mungkin dalam usia SR, aku sudah kelihatan bakat tinggi badan bisa melebihi ayah.

Perkembangan anak secara fisik dan emosional dipengaruhi oleh faktor gen atau keturunan, dalam perkembangannya ditentukan oleh proses, terutama faktor ajar yang terjadi di keluarga. Asupan, gizi dan nutrisi bisa memacu pertumbuhan fisik, sehingga bisa melebihi ukuran tinggi maupun berat badan orang tuanya. Perpaduan kualitas pasutri, menghasilkan sinerjitas serta faktor-X yang menyebabkan anak lebih dinamis, enerjik dan proaktif.

Kemajuan zaman bisa mempengaruhi pola hubungan anak dengan orang tua. Dampaknya nampak dalam kehidupan sehari-hari. Ketika BUDI PEKERTI sudah tidak diajarkan di tingkat SD, atau orang tua dengan berbagai kesibukan, sehingga semua aspek didik dan ajar diserahkan ke guru, terjadi pergeseran nilai hubungan anak dengan orang tua. Anak dewasa secara alami, tumbuh dalam lingkungan yang serba bebas, dengan dalih demokratis. Di lain pihak, terkadang orang tua bisa menganggap anak sebagai mitra, teman, bisa sebagai sparing partnet dalam dialog, diskusi dan debat.


KELUARGA PANCAWARGA
Punya anak satu, anak dua sampai beranak banyak, beban orang tua tetap sama. Banyak anak, banyak rezeki sampai ikhwal bahwa tiap anak bawa rezekinya masing-masing menjadikan orang tua tetap optimis. “Anak polah bapak kepradah”, menyiratkan tingkah laku anak jika bertingkah, bapak kena akibatnya, baik atau buruk.

Program Nasional antara lain cita-cita mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (KKBS), serta mampu menjadi contoh, model, panutan, idola, dan sumber informasi dan inspirasi bagi teman sebayanya, bisa kita wujudkan. Realita keluarga miskin keluarga banyak anak.

Aku dilahirkan dalam Keluarga Pancawarga, bungsu dari tiga bersaudara. Sebenarnya empat bersaudara, yang ragil meninggal saat lahir (tahun 1957).  Sebagai keluarga ‘Sendang kapit pancuran’ artinya satu putri diapit dua putra, tentunya tak akan lepas dari adat Jawa yaitu acara ruwatan. Ruwatan tidak pernah dilaksanakan secara khusus, hanya sebagai acuan orang tua dalam mengelola kami. Aku lahir sebagai bayi prematur, di musim bediding (Jawa, dingin karena hujan), jadi sekarang tahan di hawa dingin. Betapa ibu jadi inkubator, dengan dekapannya. “Sebesar irus”, kata bidan yang menangani kelahiran ibu.

PENDIDIKAN ANAK
Kami dilahirkan dari dua suku yang “berbeda” jauh. Ayah dari Padang Panjang, Sumatera Barat, sedangkan ibu dari Yogyakarta, bertemu di HIK Yogyakarta zaman pendudukan Jepang. Pancer lanang tidak ada di suku Minang, anak keturunan adalah anak perempuan. Walhasil, kami tidak punya kampung halaman. Kalau ditanya suku, atau harus mengisi formulir, kami jawab/tulis : Suku Indonesia !!! Paling tidak kami bergolongan darah Barat (Sumbar) dan Istimewa (DIY).

Justru kawin antar suku, menyebabkan wawasan kami mempunyai nilai lebih. Mulai urusan perut, bisa mengenal dan merasakan masakan Padang sejak dini, yang sekarang Warung Padang sebagai ciri perkotaan. Ibu mau tak mau harus praktek resep Padang, yang serba cabai/lombok. Susahnya, kalau lebaran jadi jauh kunjungi kakek nenek, malah belum pernah! Sehingga kami tidak mengenal tradisi mudik. Eyang putri di Yogya, sekota.

Persamaan atau benang merah orang tua kami yaitu karena sama-sama dari sekolah guru (HIK Yogya) dan mahir berbahasa Belanda. Jika ayah ibu bicara pakai bahasa Belanda berarti ada hal penting yang didiskusikan atau sedang bertengkar.

Sejak anak sulung sudah kelihatan karakternya, ibu diminta bapak berhenti jadi guru, pengabdian dialihkan dan difokuskan buat keluarga. Ayah mengamblil alih urusan cari nafkah, lanjut jadi guru sampai akhir hayat.

Salah satu beban hidup kami bertiga adalah, bahwa punya orang tua guru jangan sampai pendidikan anak tertinggal. Kalau bisa melebihi orang tua! Alhamdulillah, sampai sekarang kami betiga minimal mengantongi ijazah Strata 1 (S1), dari UGM Yogyakarta.

Ayah lebih banyak memberi contoh dalam hal pendidikan. Ayah tidak pernah tidur siang, sibuk dengan membaca, menulis atau mengetik. Bangun selalu pagi sebelum azan subuh, sebelum kami bangun. Kertas bekas dijadikan sarana menulis. Karena keadaan dan tuntutan ekonomi, ayah ngobyek jadi guru di sana-sini, dilakoni dengan naik sepeda onthel. Zaman aku SR/SD ayah punya sepeda motor Solex. Tanpa rantai, motor menempel langsung menggerakkan ban depan.

Ibu sebagai ibu rumah tangga sibuk dengan acara rutinitas urusan dapur, bersih-bersih rumah sampai menata uang dengan bijak agar bisa sampai akhir bulan. Tidur paling akhir. Sebelum tidur kami dicek ayah. Terkadang sambil mengusir nyamuk di kelambu, lampu kamar tidur dimatikan.

Secara tak sadar, kedua orang tua kami melaksanakan pendidian anak secara Islami. Pernik-perniknya ada yang tidak sama, misal dalam berwudhu. Kata ayah jangan dikeringkan sebagai bukti di akhirat, ujar ibu jangan sampai membasahi sajadah. Mengormati suadara, kerabat orang tua ternyata ada perbedaan mendasar.

Secara substansial pendidikan anak yang dipraktekkan orang tua kami, bisa aku formulasikan sebagai berikut :
o  Cinta orang tua kepada anak setiap hari, tanpa diucapkan.
o  Anak sebagai fitnah (cobaan) karena hanya sebagai amanah.
o  Mendoakan anak dengan keberkahan, mengenalkan kekuatan doa.
o  Kebaikan orang tua bermanfaat untuk anaknya, karena nantinya anak akan jadi orang tua.
o  Berlaku adil di antara anak-anak, sesuai kebutuhan dan kondisi anak.
o  Nasehat orang tua untuk anaknya, dilakukan dalam rangka pengendalian.
o  Memerintahkan anak untuk selalu berbuat baik, untuk menjadi hamba Allah yang bermanfaat.
o  Pengajaran anak
§  Mengajarkan anak berdikari/mandiri, hanya bersandar kepada-Nya untuk semua urusan.
§  Mengajarkan anak beribadat, mendirikan sholat di awal waktu, serta dilakoni dengan ikhlas.


FAKTOR AJAR
Ayah sering cerita kalau anak lelaki harus kerja di bidang teknik. Ayah tidak pernah mengeluh sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia yang sepi penggemar dan tidak bergengsi, sekaligus tidak pernah merasa bangga bahwasanya bahasa Indonesia adalah bahasa Nasional sesuai Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928.

Andil ayah dalam membentuk kami seolah tanpa kata, tanpa fatwa. Tidak pernah mengatakan harus begini, harus begitu. Seolah kami diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan masa depan. Ayah hanya melaksanakan kewajibannya secara total dan formal. Ibu tidak sekedar merawat, justru melengkapi apa yang kurang. Dengan modal sebagai mantan guru, anak nomer dua dari sepuluh bersaudara, ibu dengan tekun mendampingi kami.

Singkat kata, keinginan ayah bisa aku penuhi. Aku menyandang gelar sarjana teknik arsitektur UGM. Ikut membaca buku ayah (dipilih yang berbahasa Indonesia), bahkan terkadang membantu mengetik tulisan tangan ayah, akhirnya aku bisa menulis. Menulis dengan benar dan baik. Di sela-sela kesibukan sebagai PNS, aku punya nilai jual sebagai penulis. CV atau Daftar Riwayat Hidup didominasi oleh karya tulis yang telah dipublikasikan, sebagai pemenang dalam lomba, dsb.

Dua kali promosi dalam jabatan struktural karena punya nilai jual bisa menulis. Persyaratan adminstrasi berdasarkan pendidikan formal jelas kalah dengan S2/S3. Itulah hidup di birokrasi, terkadang terbelenggu atau terkungkung dengan hukum buatan manusia.


ALIH GENERASI
Ibu termasuk bertangan dingin, biji cabai yang dibuang saja bisa tumbuh. Ampas teh dijadikan pupuk tanaman dalam pot. Dari ketiga anak, agaknya hanya aku yang senang bercocok tanam, gemar berkebun, hobi mengolah tanah.

Sampai sekarang aku terbiasa buat jogangan (bhs Jawa, maksudnya buat lubang tanah diisi sampah organis sampai penuh baru ditimbun) dengan metode gali lubang tutup lubang. Tanah terbuka menjadi RTH (Ruang Terbuka Hijau) sekaligus sumur resapan, tidak ada yang ditutup dengan beton, kecuali tempat parkir. Tanah bertambah untuk menguruk bangun kamar baru, tanaman jadi subur, ada pohon nangka yang buahnya dinanti tetangga.

Anak sulung aku heran, melihat aku sebagai arsitek tidak pernah praktek. Kesannya, atau pernah jumpa arsitek yang merancang bangun, mulai daru rumah tinggal sampai bangunan tinggi, mendesain kompleks perkantoran, bangunan komersial, bandar udara, dsb.

Anak sulung aku berujar, tidak masalah kalau kerja, cari nafkah, uber rezeki Allah dengan memanfaatkan keahlian. Tidak sekedar mengandalkan disiplin ilmu.

WARISAN ORANG TUA
Ayah masih kirim uang liwat wesel, teman kantor heran. Sebetulnya tidak perlu heran, ada teman kuliah dibangunkan rumah tinggal oleh ayahnya. Padahal ybs tidak miskin. Wesel dari  ayah saat itu untuk bayar kost sebulan masih sisa.

Orang tua hanya bisa mewariskan nama baik dan ilmu. Kalau mau rumah bagus, mobil bagus, beli sendiri. Ujar ayah suatu saat, ketika aku balik kandang ke Yogya. Keinginan  ayah aku anggap sebagai wasiat. Alhamdulillah, sudah terlaksana. Aku, isteri dan tiga anak bisa huni rumah pribadi. Tidak perlu beli mobil baru, karena isteri aku dapat mobil dinas. Keahlian menulis sebagai warisan ayah, aku tularkan ke anak. Mau tak mau anak aku harus rajin membaca dan menguasai bahasa asing. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memacu gemar membaca dan menulis. Bahkan aku bisa membantu isteri yang sedang kuliah S3 di IPB Bogor.


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar