melèk politik potensial melanggar norma bernegara
Wajar bin nalar kalau diberlakukan pada okonum kawanan anggota parpol yang terikat kontrak politik selaku penyelenggara negara. Terlihat lebih parah justru kawanan non-partai jika diberi kesempatan – semisal pembantu presiden – akan berbuat bebas. Merasa menjadi RI-0,5. Sejarah daripada rezim politik-militer Orde Baru, mampu membuktikan bukan politisi, bukan anggota parpol, sukses menjadi penguasa tunggal lewat 6x pemilu.
Tersirat betapa kendaraan politik tergantung pengendali. Tidak perlu merintis, menapak dari nol. Langsung tancap gas pol. Tersirat pula letak beda mendasar antara dua periode SBY dengan dua periode Jokowi. Kendati sama-sama pada periode pertama RI-2nya JK.
Tirani minoritas yang eksis sejak Orde Baru, berlanjut hingga kini.
Skala daerah, konflik eksekutif vs legislatif. Menjadi contoh nyata, benderang. Kebijakan kepala daerah akan serta merta dikritisi bukan karena faktor pemerataan serapan APBD. Bukan karena program / kegiatan pro-rakyat terabaikan. Beda kepentingan politik atau akibat koalisi parpol pro-presiden tidak laku di pilkada. Kebenaran ditentukan oleh mayoritas. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar