Lord Oddan

Halaman

  • Home
  • About Me

Rabu, 25 Februari 2015

2014-2019, Indonesia Tersandera Dendam Politik

2014-2019, Indonesia Tersandera Dendam Politik

NAIK KELAS
Pendiri Maariff Institute Ahmad Syafii Maarif berpendapat bahwa politisi Indonesia sebaiknya "naik kelas" atau berubah pandangan menjadi  negarawan. "Jangan cuma hanya jadi politisi, tetapi harus bisa naik kelas menjadi  negarawan agar tidak hanya mementingkan suatu golongan," kata Ahmad Syafii Maarif di Jakarta, Selasa malam 24/2/2015 (sumber : REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA).

Pendapat Buya Maarif, tentunya berdasarkan fakta historis, tidak sekedar asumsi politis, tidak perlu melalui survei pesanan, jajak pendapat, sampling ke pasar tradisional apalagi memakai jasa penyelidikan dan penyidikan khusus. Aroma politik 2014-2019, kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sudah mengarah pada polusi yang sudah akut.

Pasca Reformasi, 21 Mei 1998, terbukti tidak ada politisi yang siap jadi pemimpin nasional. Bukan sekedar karena tidak ada pengkaderan di zaman Orde Baru atau pengkerdilan politisi liwat penyederhanaan jumlah partai. UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, menyederhanakan jumlah partai, mengatur hanya ada dua partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar).

Parpol sempalan, dengan paltform yang serupa tapi tak sebentuk,  muncul bak cendawan di musim hujan, pamrih pertama dan utama adalah agar bisa ikut pemilu. Politisi kambuhan, politisi karbitan, politisi musiman, politisi aji mumpung, politisi pupuk bawang tampil tanpa merasa sungkan dan malu. Tak pelak, dekade pertama Orde Reformasi (1998-2008) telah menghasilkan 4 presiden  yaitu BJ Habibie, Gus Dur, mbok de Mega dan SBY.

Tokoh Reformis karena mengutamakan politik banyak yang kandas di tengah jalan, dikenang untuk tidak dikenang. Orang mendirikan partai politik sebagai ikhtiar menuju RI-1. Banyak orang merasa bisa jadi RI-1. Paling konyol adalah pemikiran bahwa untuk bisa berbuat banyak buat negara harus jadi kepala negara. Perjuangan mulai dari atas, bukan dirintis dari bawah.

Bagaimana aturan main agar politisi, atau apapun sebutan dan klasnya, bisa naik kelas?

TUMBUH KE BAWAH
Kawanan parpolis Indonesai terjebak perseteruan, pertarungan, persaingan horizontal. Bisa disumpah dan dilantik jadi wakil rakyat, terlebih tingkat nasional, merasa nyaman, mapan dan belum puas. Mencapai puncak karir,  mengukir prestasi, tinggal kalkulasi untung-rugi.

Walhasil, politisi Indonesia bukan cikal bakal negarawan. Politisi yang sampai pucuk pimpinan di parpolnya, bukan jaminan mutu untuk dipromosikan ke sebagai negarawan. Ironis, ketua umum sebuah parpol yang sempat menjabat sebagai kepala negara tidak otomatis bergelar negarawan. Negarawan bukan karena jabatan.

Ternyata, selama dua peridoe 2004-2009 dan 2009-2014 dengan satu presiden, berdampak pada pola asuh politik Indonesia. Pekerjaan yang paling membosankan adalah ‘menunggu’. Kalau anak didik pemegang ijazah SMA berjibaku untuk masuk perguruan tinggi, gagal tahun ini bersiap maju tahun depan. Gagal lagi, akan memakai Rencana-B atau alternatif terakhir. Di industri politik, gagal di pemilu dan pilpres, tunggu waktu lima tahun lagi. Pecundang politik, biasanya tidak evaluasi diri, tetapi sibuk dan gemar mencari kambing hitam. Jika cerdas,  mulai dari nol, melakukan perombakan total. Jika dua kali aktif ikut di pesta demokrasi, dengan hasil maksimal hanya jadi runner-up, bukannya tak berdampak.


Singkat kata, tekanan hidup di bawah bayang-bayang politik lawan selama penantian dua kali pesta demokrasi, menjadikan naluri politik, insting politik tumbuh ke bawah. Bukan tumbuh ke samping apalagi tumbuh ke atas. Daya tanggap, kepekaan, dan kepedulian politik hanya sebatas urusan perut ke bawah, yaitu syahwat politik. Sepuluh tahun memendam berbagai jenis ambisi sekaligus menimbun berbagai ragam antipati. Dipastikan, yang dipikirkan bukan negara ke depan, tetapi lebih bagaimana selama lima tahun ini menjadikan negara sebagai hak milik, hak guna dan hak pakai.[Haen]
Diposting oleh [HaéN] di 10.39 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: negara

Senin, 23 Februari 2015

golkar, carilah lahan baru

Golkar carilah lahan baru
Beranda » Berita » Opini
Jumat, 16/11/2007 05:05

Golkar, carilah lahan baru


Sejarah Orde Lama, masa pancaroba Reformasi tanpa basa-basi, konflik internal, doktrin loyalitas karder partai, dosa turunan dan gotong royong, KKN versi lokal, sampai pilgub Sulsel 2007 membuktikan bahwa ada baiknya dan sebaiknya Partai Golongan Karya mencari lahan baru. Memulai kehidupan baru (hn),
Diposting oleh [HaéN] di 07.13 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: opini MPR, promo

Minggu, 22 Februari 2015

kaji ulang, Indonesia negara tujuan utama narkoba

KAJI ULANG, INDONESIA NEGARA TUJUAN UTAMA NARKOBA



Memang, hukuman mati bagi pengedar narkoba, diharapkan mempunyai efek jera. Namun berbagai pihak yakin dan tahu, masyarakat pun mahfum, yang tertangkap tangan adalah kurir narkoba, bukan bandar narkoba yang bermarkas di berbagai negara. Kita wajib kaji ulang, bedah tuntas mengapa narkoba seolah bisa bebas masuk ke Indonesia. Apakah karena pasal perdagangan bebas dunia.

Apakah bandar narkoba bisa membaca mana jalur aman, atau minimal bisa mengetahui jalur mana yang bisa dibuat aman. Yang tertangkap tangan, mungkin sedang apes, mungkin menjadi target operasi, mungkin kurang setoran, mungkin salah tangkap, atau berbagai kemungkinan lainnya.

Apakah bandar narkoba sudah mengetahui banyaknya pengguna narkoba di Indonesia. Pengguna narkoba dengan berbagai latar belakang usia, pendidikan dan ekonomi. Persaingan hidup menjadikan anak bangsa melihat jalan pintas atau lari dari kenyataan dengan menggunakan narkoba. Tak kurang yang ahli, akal-akalan menggunakan zat lain yang berefek atau berdampak bak narkoba.

Apakah bandar narkoba paham betul bahwa narkoba adalah “emas asap”, yang mendatangkan keuntungan berlipat dalam waktu singkat. Modal nekad dan keberanian bisa ikut jaringan bisnis narkoba. Apalagi sudah tahu, kenal dan dekat dengan kelompok masyarakat pengguna narkoba.

Apakah bandar narkoba memanfaatkan kondisi bahwa kebijakan pemerintah untuk memberantas narkoba, malah dijadikan ajang promosi aparat keamanan. Atau dijadikan sumber tak resmi pendapatan asli oknum aparat daerah. Atau sebagai bagian sistem yang lebih luas.


Apakah bandar narkoba tahu persis jika Indonesia bisa didikte kekuatan asing, dikendalikan kekuasaan asing. Seperti menangani terorisme. Jika teroris sudah tidak menjadi isu internasional, negara adikuasa menghembuskan isu virus penyakit. Obat penangkal wajib beli di perusahaan farmasi negara adidaya [HaeN].
Diposting oleh [HaéN] di 12.19 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: demokrasi, fokus publik

Jumat, 20 Februari 2015

Presiden Orla vs Presiden Orba

Presiden Orla vs Presiden Orba
Beranda » Berita » Opini
Senin, 28/01/2008 02:56

Presiden Orla vs Presiden Orba


Apa bedanya antara mantan presiden dengan mantan napi. Apa persamaannya bakal capres 2004 dengan bakal capres 2009. Jelas beda, Presiden Orla, notabene salah satau dari dwitunggal atau Proklamator sebagai RI-1 kesatu. Presiden Orba, secara periode (Supersemar 11 Maret 1966 dan 6 kali Pemilu) sebagai RI-1 kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan. Bedanya, apa beda pengertian seumur hidup dengan 32 tahun lebih. Merdeka !!!! (hn).
Diposting oleh [HaéN] di 06.27 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: opini MPR, promo

Kamis, 19 Februari 2015

nasib nusantara, bagai jokowi di ujung tanduk banteng

Nasib Nusantara, Bagai Jokowi Di Ujung Tanduk Banteng

Waktu saya menuntut ilmu di Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) di kotapraja Yogyakarta (sekarang kota Yogyakarta) beberapa tahun sebelum peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) menusuk dari belakang NKRI untuk kedua kalinya, dikenal dengan G30S 1965 PKI. Guru yang mengajar semua mata pelajaran, menguraikan peribahasa ‘bagai telur di ujung tanduk’.

Selan tidak masuk akal anak SR, kami anggap aneh, menaruh telur di ujung tanduk. Apalagi, sepengetahuan para anak SR, tanduk kerbau atau sapi tidak tegak. Namanya peribahasa, dijelaskan oleh pak guru bahwa maksudnya adalah kondisi labil, mudah jatuh atau tak mungkin berdiri. Tak perlu digoyang akan jatuh sendiri. Lebih baik di ujung tanduk menjangan, bercabang, bayangkan kami. Karena kalau tergelincir, nyangkut di pangkal tanduk. Retak atau pecah soal lain.

Waktu saya duduk di klas satu SMP di kota Yogyakarta, G30S/PKI meletus. Teman lain klas menjadi anak salah satu Pahlawan Revolusi Yogyakarta. Tanpa komando, banyak rakyat merasa menjadi anak didik, murid, bahkan menjadi loyalis Bung Karno. Asas pejah gesang nderek Bung Karno (hidup mati ikut Bung Karno) menjadi jimat. Lambang kepala banteng, foto silhuet, dengan tanduk tegak bak mahkota, menjadi kebanggaan. Merasa nasionalis, pelajar menjadi anggota pasif Gerakan Siswa Nasional Indonesia, bahkan bersifat radikal. Pemuda tergabung dalam Gerakan Pemuda Marhaen (GPM). Warna merah menjadi trade mark atau hak milik kaum Marhaen.

Lebih dari setengah abad kemudian, tepatnya, begitu pengemban Super Semar 1966 berkibar, semangat banteng ketaton (terluka) mengendur, luntur dan surut perlahan. Anak biologis, anak ideologis Bung Karno dikebiri oleh pemerintah Orde Baru, khususnya Guntur. Mbak Mega dianggap tidak berbahaya, dibiarkan melenggang kangkung, merdeka berpartai politik. Inilah kelebihan Bapak Pembangunan H.M Soeharto membaca pertanda zaman.

UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, menyederhanakan jumlah partai, mengatur hanya ada dua partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Walhasil, 5 kali Pemilu di era Orde Baru, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 peserta tetapnya hanya tiga : PPP, PDI dan Golkar. Hasilnya juga sudah bisa ditebak, bahkan sebelum hari coblosan. Hasil akhir yaitu’ atas kehendak rakyat’.

Penerawangan pak Harto atas kinerja dan kiprah mbak Mega tidak meleset di zaman Orde Baru. 21 Mei 1998, pak Harto lengser keprabon dari kursi RI-1 digantikan oleh RI-2 : Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden meneruskan periodnya.

Semangat Reformasi,  Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu (sumber : KPU) untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sejarah periode 1999-2004 merekam bahwa 22 Oktober 1999-23 Juli 2001 Megawati sebagai wakil presiden dan 23 Juli 2001-20 Oktober 2004 Megawati menjadi presiden. Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri, melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2001 tertanggal 23 Juli 2001, ditetapkan sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan K.H. Abdurrahman Wahid, sampai habis sisa masa jabatan Presiden Republik Indonesia 1999-2004.

Dekade 2004-2009 dan 2009-2014, rakyat Indonesia sadar politik, melek politik dan mampu melihat fakta, akhirnya Megawati Soekarnoputri keluar sebagai runner-up. Sebagai bandar PDI-P di 2014, Megawati menyuruh orang suruhan, petugas atau kurir PDI-P untuk maju jadi calon presiden di pilpres 9 Juli 2014. Akhirnya pasangan Jokowi-JK keluar sebagai juara umum.

Singkat kata di periode 2014-2019 saya teringat peribahasa ‘bagai telur di ujung tanduk’. Menurut KBBI, di ujung tanduk adalah ‘dalam keadaan yang sangat sulit (berbahaya)’.

Memakai kaca mata politik, perjalanan Jokowi-JK dikendalikan oleh tanduk banteng. Salah sedikit atau tidak patuh komando, tanduk banteng langsung menyengat pantat. Tanduk banteng bak cambuk atau cemeti yang dipegang gembala. Tapi semua ini hanya peribahasa [HaeN].


Diposting oleh [HaéN] di 12.49 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: negara, Puisi

Rabu, 18 Februari 2015

tanggung jawab umat

Beranda » Surat Pembaca
tanggung jawab umat

Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) memposisikan masyarakat dengan tangan di bawah, sebagai obyek kebijakan pemerintah. Bayangkan, terdapat 65 juta warga miskin dan rentan miskin.


Umat Islam seharusnya merasa miris sekaligus prihatin dengan adanya rakyat miskin. Andai mereka peka, peduli dan tanggap, maka potensi zakat bisa menjadi modal produktif bagi rakyat miskin [HaeN]. 
Diposting oleh [HaéN] di 18.55 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: demokrasi, lingkungan

Selasa, 17 Februari 2015

dki jakarta antisipasi bencana tiap hari

DKI JAKARTA ANTISIPASI BENCANA TIAP HARI


 Wajar, jika saat bencana menyapa kita tersadar. Skala kota, semisal DKI Jakarta sebagai ibu kota negara, menjadikan bencana menjadi menu harian dari 4 menu yang tersedia yaitu BMKG (banjir, macet, kebakaran dan gusur).

BM sebagai ciri utama Jakarta dan terjadi pemerataan, berlaku umum untuk semua umat. Bukan Jakarta kalau tidak macet. Bukan Jakarta kalau tidak banjir rutin, air bah musiman, kiriman / limpahan air dari kota tetangga sampai air laut pasang atau rob. Nasib kiprah dan kinerja KG, mengacu asas TSM (terstruktur, sistematis dan masif), menjadi program khusus/darurat.

Air sebagai penyebab banjir. Bagaimana air hujan tidak mau dan sanggup meresap ke bumi, bagaimana jalan air tidak bebas hambatan sampai bagaimana rumah tinggal membuang percuma air hujan, bukan masalah. Pihak yang peduli lebih didominasi kajian akademis.

Fenomena buanglah sampah di tempatnya, dalam prakteknya menjadi buang sampah di sembarang tempat, di lokasi yang mudah terjangkau. Bukan simpanlah sampah di bak sampah. Sampah rumah tangga pun banyak yang lolos tidak sampai ke tempat penampungan sampah terpadu.

Mitigasi bencana BMKG ditangani mulai skala rumah tangga, dengan membuat ruang terbuka, lubang sampah organis (jogangan, bahasa Jawa), sumur resapan, penghijauan; skala Rukun Tetangga; skala Rukun Warga [HaeN].

Diposting oleh [HaéN] di 06.41 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: fokus publik, lingkungan

Senin, 16 Februari 2015

dunia atau manusia yang terbalik

Dunia Atau Manusia Yang Terbalik

Acara TV swasta mengusung tema emansipasi wanita versi ibu kita Kartini, dikemas secara komedian, banyolan maupun lawak. Family 100 stasiun trans7, Senin 9 Februari 2019, pertanyaan ‘apa reaksi isteri jika suami pulang terlambat?’. 5 jawaban,  terbanyak adalah ‘marah’ (30 suara) dan ‘cueikin suami’ sebagai jawaban tersedikit (6 suara).

“Modern women,  ideal kah?” sebagai tema acara Indonesia Lawak Club (ILC) stasiun trans7, Jumat 13 Februari 2015. Bintang tamu ustadz Nur Maulana, menjelaskan isteri yang baik adalah “irit di dapur, boros di kasur”. Bukan sebaliknya, “boros di dapur, pelit di kasur”. Dilengkapi dengan ujar bahwa “berhias untuk suami, bukan berhias untuk orang lain”. Dari pihak pembanyol, dari kaum Hawa, menyampaikan argumen : “lebih baik suami makan di luar, daripada pijat di luar”.

STATUS KELUARGA
Tradisi masyarakat di Indonesia masih ada yang memperdebatkan status perawan tua, perjaka tua, joko ting-ting, lajang atau jomblo abadi, tidak laku kawin, terlambat nikah. Seolah status tadi menjadi momok dan sekaligus borok keluarga. Pemerintah mengatur batas minimal usia nikah sebagai langkah normatif, moderat namun kondisional. Ironis, masyarakat menganggap perilaku kawin kontrak, nikah siri atau nikah di bawah tangan sebagi laku yang benar dan baik. Rubrik jodoh, komunitas kaum lajang/jomblo sebagai kiat dan ikhtiar menemukan jodoh.

Islam tidak mengenal istilah ‘terlambat nikah’, yang ada adalah belum ketemu jodohnya, ybs belum saatnya menerima amanah dari Allah. Bahkan ada rumusan jodoh, yaitu jika lelaki yang sudah siap nikah, tetapi belum berani, berarti tidak percaya diri. Jika pasangan suami isteri tidak kunjung mempunyai momongan, berarti Allah belum “mempercayai” untuk memberikan titipan.

 Islam memposisikan derajat, martabat, hakekat perempuan tidak beda jauh dengan laki-laki. Masalah gender, justru Islam menggariskan bahwa fitrahnya perempuan adalah sebagai ibu, karena Allah telah menciptakan perempuan dalam keadaan bisa mengandung dan melahirkan anak. Hukum asal seorang perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, atau yang dikenal dengan istilah ibu rumah tangga. Kewajiban sebagai seorang ibu tidak hanya sebatas ibu secara biologis maupun yuridis.

Pengarusutamaan gender, peranan wanita, pemberdayaan perempuan sebagai acuan pembangunan nasional sampai pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Bahkan ‘pemberdayaan perempuan’ diwujudkan dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kepedulian Pemerintah mewujudkan emansipasi wanita maupun semangat Hari Ibu bersifat dinamis dan umat Islam mengantisipasi sejak dini, tidak sekedar menerima nasib sebagai obyek.

Islam tidak menganjurkan bahkan melarang kaum Hawa, perempuan hanya menjadikan keluarga sebagai simbol status, sebagai tameng sosial, sebagi bukti diri. Perempuan tidak dilarang beraktivitas sosial di luar rumah. Patut direnungkan, problematika wanita yang bekerja di luar rumah atau berkarir berdampak pada generasi masa depan.

WANITA KARIR
Kondisi masyarakat sekarang, di kalangan masyarakat menengah ke atas, demokratisasi pendidikan berbagai strata yang dipromosikan dengan kemudahan akses, mau tak mau berimbas pada peningkatan kesadaran meraih ilmu setinggi mungkin.  Perempuan menjelma menjadi wanita karir dengan sederet cita-cita atau memenuhi tuntutan kerja, tidak sekedar menunjang ekonomi keluarga. Bisa-bisa dari ibu rumah tangga menjadi imam keluarga.

Kalangan masyarakat papan bawah, para perempuan harus berjibaku, banting tulang, peras keringat, menyingsingkan lengan baju ke luar rumah. Tak jarang yang bermodal dengkul mengadu nasib untuk memenuhi tuntutan dapur, yang tidak bisa diandalkan dari kerja suami saja. Terkadang, justru wanita pekerja yang lebih nyata mencari nafkah keluarga dari pada suaminya. Sedari tulang rusuk beralih fungsi menjadi tulang punggung keluarga.

Demokratisasi pendidikan dan peluang kerja yang sama antara kaum Adam dan kaum Hawa, tidak diikuti dengan perubahan idiologi gender yang ada dalam masyarakat. Generasi muda terkontaminasi faham dan gerakan feminisme barat yang atraktif dan mengedepankan kekebebasan. Penyebab utama dan mendasar feminisme barat karena bangsa barat selalu mencari identitas diri, jati diri dan merumuskan posisi  ideal di tengah masyarakat yang mengandalkan materialisme.

Perempuan acap didaulat sebagai makhluk lokal, makhluk domestik yang siklus geraknya maupun orbitnya seputar kasur, dapur dan sumur sampai kubur. Prestasi duniawi yang kaum Hawa raih, walau secara formal bisa menyalip ruang juang kaum Adam, tetap saja dinilai berdasarkan posisi yang telah diformulasikan untuknya. Seberapa banyak dan tinggi prestasi yang diraih, tak akan pernah dianggap sebagai pencari nafkah. Kondisi ini tidak berlaku di industri politik, karena hukum yang berlaku tidak sekedar yang kuat, kaya, dan kuasa sebagai pemegang kendali, justru berlaku hukum pemakan segala. Nasib bangsa dan negara menjadi taruhan.

Tak ayal, berbagai aktivitas yang digeluti kaum Hawa, khususnya sampai meninggalkan rumah dan keluarga, adalah membantu pelaksanaan kewajiban sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangga. Islam menggariskan bahwa aktivitas utama seorang wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga Artinya,  keadilan maupun keseimbangan yang dicari baik untuk Muslim maupun Muslimah merupakan jalan tengah yang tidak mengabaikan hak dan kewajiban masing-masing. Bahkan untuk urusan dunia pun, bukan menganut falsafah kaki jadi kepala, kepala jadi kaki.[HaeN].


Diposting oleh [HaéN] di 11.19 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: lingkungan, promo

Sabtu, 14 Februari 2015

kalau bangsa dan rakyat NKRI tidak kompak

Malaysia Makin Ganas Mencaplok Indonesia

Senin, 10 Oktober 2011 12:04
6 Komentar
E-mail Print PDF
Peta garis batas Malaysia yang mencaplok Camar Bulan (Dok Gatranews)
Rupanya, negeri Jiran Malaysia kian merajalela. Setelah mengklaim tari pendet dan reog Ponorogo sebagai tarian Asli Malaysia serta rendang diakui pula sebagai makanan asli Malaysia, kini sebagian wilayah Indonesia di Kalimantan Barat pun dicaploknya. Yang terbaru, Dusun Camar Bulan dan Tanjung Datuk di Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, seluas 1.499 hektar telah diklaim sebagai wilayah Malaysia. Disebutkan, peta anyar yang dikeluarkan pemerintah Diraja Malaysia itu menacu pada kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Malaysia di Kinabalu pada 1976 dan Semarang, Jawa Tengah, pada tahun 1978.

Gubernur Kalimantan Barat Cornelis sempat meradang. Klaim Malaysia atas Dusun Camar Bulan itu dianggapnya tidak berdasarkan konvensi internasional. Sebab, kota kecil itu masuk wilayah Indonesia yang sah berdasarkan Traktat London tahun 1824. “Sebagai seorang gubernur, tak sejengkal tanah pun akan saya serahkan kepada Pemerintah Malaysia. Tanah itu akan tetap saya pertahankan,” tegas Cornelis di Pontianak, Kamis (29/9/2011) pekan lalu.

Traktat London adalah kesepakatan bersama antara Kerajaan Inggris dan Belanda terkait pembagian wilayah administrasi tanah jajahan kedua negara. Salah satu isi perjanjian itu adalah batas negara antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan didasarkan pada watershead. Artinya, pemisahan aliran sungai atau gunung, deretan gunung, batas alam dalam bentuk punggung pegunungan sebagai tanda pemisah.

“Kita sudah tahu bahwa karakter Dusun Camar Bulan itu datar. Tidak ada gunung atau pegunungan Juga tidak ada sungai di sana. Sehingga sangat tidak memenuhi syarat sebagai watershead. Lalu kenapa wilayah itu harus masuk ke peta Malaysia,” tegas Cornelis.

Gubernur Kalbar meminta hasil pertemuan antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia di Kinabalu pada 1976 dan hasil pertemuan kedua negara di Semarang, Jawa Tengah tahun 1978 yang menyebut Camar Bulan masuk wilayah Malaysia segera dibatalkan karena bertentangan dengan Traktat London, Peta Belanda, dan Peta Inggris.

“Saya juga mendapat informasi bahwa Badan Survei dan Pemetaan Nasional sudah membuat peta yang memasukkan Camar Bulan ke dalam wilayah Malaysia supaya tidak ditandatangani karena sangat merugikan Indonesia, khususnya wilayah administrasi Kalbar. Saya juga akan mengajukan protes ke pemerintah pusat terhadap permasalahan Camar Bulan,” ungkap Cornelis.

Sebaiknya pengukuran itu ditinjau kembali dengan nafas yang sama, yakni Traktat London. “Kita bisa lihat patok batas 104 buatan Belanda. Semua materialnya sudah diuji laboratorium dan persis sama dengan material patok batas yang ada di Tanjung Datuk, Sambas. Bandingkan dengan patok batas 104 yang baru dibuat dan ditancap jauh sampai 1.499 hektare ke dalam wilayah kekuasaan NKRI,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin, mengaku telah berkunjung ke wilayah tersebut. Menurutnya, ada sejumlah warga yang diusir dari kedua wilayah ini oleh patroli Malaysia. "Mereka bilang, itu kampung Malaysia," ungkap Hasanuddin. Ia pun segera menyampaikan temuannya itu ke anggota Komisi I DPR yang lain.

Dari pantauan Hasanuddin di lapangan, patok batas kedua negara melengkung ke arah wilayah Indonesia. Akibatnya, Indonesia berpotensi kehilangan wilayah. "Patok yang ada saat ini tidak sesuai dengan perjanjian London itu. Jelas, ini menambah luas wilayah Malaysia," tegasnya. Dalam waktu dekat akan ada tindak lanjut, di antaranya memanggil Menteri Luar Negeri untuk menjelaskan ini.

Lebih tragis lagi, selain Dusun Camar Bulan, ternyata masih ada empat wilayah di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat yang juga terancam dicaplok Malaysia. Empat wilayah itu yakni, Sungai Buan, Titik D 400, Gunung Raya dan Sungai Aum. Hal itu diungkap Wakil Kepala Penerangan Kodam Tanjungpura Letkol. Inf. Totok. Menurutnya, pihak TNI akan mempermasalahkan ancaman pencaplokan kawasan di perbatasan Kalimantan Barat. Saat ini, langkah yang diambil TNI adalah menyiagakan 30 pos sepanjang 966 km di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia yang berada di wilayah Kalimantan Barat.

Mari kita jaga negara kesatuan RI. Tidak boleh ada sejengkalpun tanah RI yang dicaplok negara lain! (HP, Ant)

Twitter Facebook

Komentar  

+2 #3 herwin nur 2011-10-10 16:19
kalau bangsa dan rakyat NKRI tidak kompak, maling masuk dari dalam (koruptor) dan garong nusuk dari luar (Malaysia dan negara berbatasan dng NKRI).
Quote
 
Diposting oleh [HaéN] di 18.44 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: negara

Di NKRI surplus manusia hebat, pamer bego dibayar.

Di NKRI surplus manusia hebat, pamer bego dibayar.
Reply · 
 · July 9, 2014 at 4:11pm
Herwin Nur · Gadjah Mada University

Selamat Datang Perubahan
- 10 Juli 2014 00:31 wib

Selamat Datang Perubahan
Selamat Datang Perubahan
http://d.metrotvnews.com/delivery/lg.php?bannerid=3&campaignid=1&zoneid=43&loc=1&referer=http%3A%2F%2Fnews.metrotvnews.com%2Fread%2F2014%2F07%2F10%2F263610%2Fselamat-datang-perubahan&cb=ad084d8efa
KEGEMBIRAAN politik untuk menentukan pemimpin autentik itu akhirnya terwujud. Pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-JK unggul atas pasangan Prabowo-Hatta dalam pemungutan suara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 yang berlangsung kemarin.

dst


Diposting oleh [HaéN] di 18.35 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: lingkungan

Kamis, 12 Februari 2015

Mengokohkan Jati Diri Umat Islam

Mengokohkan Jati Diri Umat Islam
369 kali , 0 komentar
 
 Humaniora     Dibaca :369 kali , 0 komentar
 

Ditulis Oleh :Herwin Nur, Pada Tanggal : 15 - 02 - 2013 | 17:42:26

http://wasathon.com/pict/25874687Islam.jpg

Pulang Haji
Muslim Indonesia yang bergelar Haji tiap tahun bertambah, walau tak sampai satu permil (0,1%). 2012, Indonesia mendapat kuota ibadah haji hanya 211 ribu orang dari jumlah penduduk muslim yang diperkirakan lebih dari 220 juta orang dari total seluruh penduduk Indonesia sekitar 240 juta. Artinya, kuota tersebut kurang dari 0,1%. Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan kuota haji sebesar 1.000 jemaah untuk 1 juta penduduk, yang diberlakukan sejak 1987. 50% jamaah haji masuk kategori beresiko tinggi (risti), dan 80% berusia lanjut, yaitu >70 tahun.

Dampak sosial haji berdasarkan anggapan yang beredar di masyarakat, bahwa orang yang baru pulang dari berhaji masih diikuti malaikat hingga 40 hari, selama 40 hari do’anya manjur. Membawa berkah pada tetangga, pada lingkungan tempat tinggal maupun tempat kerjanya. Panggilan pak/bu haji akan menyertainya, menjadikan beban moral.

Dampak haji tergantung pelakunya, terlebih bagi mereka yang sadar memposisikan ibadah haji semata karena Allah, bukan untuk mendongkrak strata atau status sosialnya. Ibadah haji bukan sebagai andalan ibadah atau puncak ibadahnya yang dilakukan sekali dalam seumur hidup bagi yang mampu dan terpanggil.

Menampilkan jati diri sebagai haji harus diikuti dengan berbagai tindakan nyata. Lingkungan, mulai dari tingkat RT, mendapatkan kebaikan dengan adanya warga yang haji. Adab bertetangga ditegakkan dalam semangat uhkuwah, terutama dalam masyarakat yang plural atau majemuk, heterogen. Menghadapi virus Islamophobia, persaudaraan haji dan umat Islam pada umumnya, harus cerdas mengambil tindakan proaktif, preventif dan persuasif.

Secara Total
Menghadapi gerakan dan penyebaran virus Islamophobia, cara berfikir, berucap dan bertindak umat Islam, mengacu terjemahan [QS Al Baqarah (2) : 208] : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.

Mulai dari diri sendiri, setelah pribadi tertangani, kemudian atau secara bersama-sama memperbaiki keluarga sehingga menjadi keluarga-keluarga muslim yang berupaya menerapkan Islam secara kaffah. Akumulasi keluarga-keluarga muslim, terbentuklah masyarakat islami.

Di sisi lain, umat Islam memang wajib mengetahui modus operandi Islamophobia, sebagai acuan dan melakukan cegah tangkal sejak dini.  3 tampilan umat Islam sebagai jati diri :

Pertama, tampilan aktualisasi diri, mulai mematut diri dalam berfikit, bertutur dan olah fisik, sampai memilah dan memilih busana islami. Atribut islami bisa dikenakan secara modis, trendi dengan asas bersih sebagian dari iman. Mengikuti gaya hidup, gengsi dan gaul yang secara tak langsung menepis serbuan budaya asing yang tak islami. Profesi dijalankan sambil berdakwah dimulai dari satu ayat sebagai pintu masuk ke ajaran Islam. Menjadi contoh dan panutan di keluarga melalui faktor ajar.

Kedua, tampilan keluarga, dengan menyiapkan generasi Islam yang kuat bagi anak keturunannya melalui pendidikan formal dan kegiatan pendidikan Islam di lingkungan sejak dini, serta asupan gizi yang halal. Rumahku surgaku diwujudkan dengan menyediakan ruang ibadah atau tempat sholat berjamaah, kehidupan yang harmonis dan demokratis.

 
Ketiga, tampilan kegiatan sosial, kepedulian dengan berbagai kegiatan lingkungan, menjadi katalisator, dinamisator dan motivator dalam bermasyarakat sekaligus berbangsa dan bernegara. Menjalankan syariat Islam tanpa mengabaikan hak asasi agama lain. Kontribusi nyata dalam posisi di manapun, misal semboyan tut wuri handayani dalam arti walau di belakang layar tetap bisa berkontribusi dengan dukungan dan dorongan moral. [Herwin Nur/Wasathon.com]
Diposting oleh [HaéN] di 21.32 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: dakwah, lingkungan

Selasa, 10 Februari 2015

dilarangnya produksi miras di miniIndonesia

dilarangnya produksi miras di miniIndonesia


Memang pemerintah tidak bisa melarang masuknya miras dari manca negara, dengan dalih perdagangan bebas dunia.

Secara internal pemerintah tidak mempunyai wewenang melarang produksi miras lokal, terkait dengan agama di luar Islam dan adat setempat.


Jika hukum Indonesia tidak punya nyali dan taji berantas miras di hulu, masih tersisa nurani, demi rakyat, pro-rakyat, atas nama rakyat, berantas miras di hilirnya. Melarang produksi maupun penjualan miras di miniIndonesia. Minimal dialokir tempat penjualan miras [HaeN].
Diposting oleh [HaéN] di 06.33 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: fokus publik, lingkungan
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Label

artikel (1383) dakwah (1935) demokrasi (3154) fokus publik (531) iseng (14) kisahku (838) kritik DPR 2018 (6) lingkungan (3532) lkisahku (1) negara (1228) opini MPR (282) promo (1406) Puisi (452) titip (435)

Entri Populer

  • Ketika Lutut Generasi Muda Menghitam
    Humaniora      Dibaca :580 kali , 0 komentar Ketika Lutut Generasi Muda Menghitam Ditulis : Herwin Nur , 10 Desember 2012 | 08:07 ...
  • pemanfaatan lahan pekarangan pasca pengembangan rumah swadaya
     pemanfaatan lahan pekarangan pasca pengembangan rumah swadaya 1.1                    KEMANFAATAN PENGEMBANGAN RUMAH SWADAYA Pema...
  • kesenjangan politik dan cikal bakal disintegrasi bangsa
    kesenjangan politik dan cikal bakal disintegrasi bangsa KOCAP   KACARITA Entah apa saja efek domino Indonesia sebagai negara mult...
  • Mewakafkan Diri Sendiri
    oleh : Herwin Nur Makna Substansi Pasal 1 ayat 1, 2, dan 4 UU 41/2004 tentang “WAKAF”  menyatakan : 1.      Wakaf adalah perbuatan...
  • lingkaran besar lingkaran kecil lingkaran jadi-jadian
    lingkaran besar lingkaran kecil lingkaran jadi-jadian   Frasa “hubungan industrial pancasila” bergulir di era pancasila sakti. Apakah kare...
  • Tata, Titi, Titis dan Tatas
    Tata, Titi, Titis dan Tatas Piwulang Jawa: tata, titi, titis dan tatas . Mungkin terasa asing tak asing di kuping anak wong Jawa. Ke...
  • Efek Domino Kebijakan Partai Peninggalan Orde Baru
    Efek Domino Kebijakan Partai Peninggalan Orde Baru Tidak salah kalau ada asumsi moral bahwa tradisi dan praktik kehidupan dalam seb...
  • KIPRAH PNS KEMENTERIAN PU DI ZONA AMAN, NYAMAN DAN MAPAN DENGAN KENDALI RPM SIAP ALIH PERAN
    KIPRAH PNS KEMENTERIAN PU DI ZONA AMAN, NYAMAN DAN MAPAN DENGAN KENDALI RPM SIAP ALIH PERAN oleh : Herwin Nur POLITIK ZIGZAG Ja...
  • Kaping Pitu, Ojo Gawé Kapitunan
    Kaping Pitu, Ojo Gawé Kapitunan Sebutan anak pertama dengan pengertian anak sulung. Anak terakhir, entah anak atau kelahiran ke bera...
  • pengawal martabat pantat vs pengakhir derajat jidat
    pengawal martabat pantat vs pengakhir derajat jidat   Pasang surut kehidupan manusia bumi. Identik dengan nilai-nilai kemanusiaan bawaan l...

Total Tayangan Halaman

Arsip Blog

  • ►  2023 (968)
    • ►  Oktober (48)
    • ►  September (100)
    • ►  Agustus (105)
    • ►  Juli (112)
    • ►  Juni (100)
    • ►  Mei (102)
    • ►  April (94)
    • ►  Maret (109)
    • ►  Februari (95)
    • ►  Januari (103)
  • ►  2022 (1261)
    • ►  Desember (112)
    • ►  November (107)
    • ►  Oktober (106)
    • ►  September (105)
    • ►  Agustus (104)
    • ►  Juli (111)
    • ►  Juni (106)
    • ►  Mei (106)
    • ►  April (100)
    • ►  Maret (106)
    • ►  Februari (95)
    • ►  Januari (103)
  • ►  2021 (1200)
    • ►  Desember (106)
    • ►  November (84)
    • ►  Oktober (94)
    • ►  September (107)
    • ►  Agustus (102)
    • ►  Juli (107)
    • ►  Juni (106)
    • ►  Mei (101)
    • ►  April (94)
    • ►  Maret (101)
    • ►  Februari (96)
    • ►  Januari (102)
  • ►  2020 (1158)
    • ►  Desember (102)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (97)
    • ►  September (105)
    • ►  Agustus (101)
    • ►  Juli (102)
    • ►  Juni (101)
    • ►  Mei (104)
    • ►  April (92)
    • ►  Maret (101)
    • ►  Februari (92)
    • ►  Januari (64)
  • ►  2019 (932)
    • ►  Desember (94)
    • ►  November (95)
    • ►  Oktober (95)
    • ►  September (81)
    • ►  Agustus (59)
    • ►  Juli (77)
    • ►  Juni (76)
    • ►  Mei (70)
    • ►  April (75)
    • ►  Maret (70)
    • ►  Februari (73)
    • ►  Januari (67)
  • ►  2018 (813)
    • ►  Desember (76)
    • ►  November (77)
    • ►  Oktober (66)
    • ►  September (69)
    • ►  Agustus (62)
    • ►  Juli (61)
    • ►  Juni (67)
    • ►  Mei (74)
    • ►  April (65)
    • ►  Maret (71)
    • ►  Februari (63)
    • ►  Januari (62)
  • ►  2017 (660)
    • ►  Desember (43)
    • ►  November (50)
    • ►  Oktober (54)
    • ►  September (56)
    • ►  Agustus (36)
    • ►  Juli (62)
    • ►  Juni (58)
    • ►  Mei (61)
    • ►  April (67)
    • ►  Maret (63)
    • ►  Februari (56)
    • ►  Januari (54)
  • ►  2016 (567)
    • ►  Desember (46)
    • ►  November (49)
    • ►  Oktober (43)
    • ►  September (50)
    • ►  Agustus (44)
    • ►  Juli (51)
    • ►  Juni (40)
    • ►  Mei (48)
    • ►  April (49)
    • ►  Maret (52)
    • ►  Februari (46)
    • ►  Januari (49)
  • ▼  2015 (457)
    • ►  Desember (35)
    • ►  November (31)
    • ►  Oktober (37)
    • ►  September (39)
    • ►  Agustus (45)
    • ►  Juli (41)
    • ►  Juni (47)
    • ►  Mei (52)
    • ►  April (32)
    • ►  Maret (29)
    • ▼  Februari (20)
      • 2014-2019, Indonesia Tersandera Dendam Politik
      • golkar, carilah lahan baru
      • kaji ulang, Indonesia negara tujuan utama narkoba
      • Presiden Orla vs Presiden Orba
      • nasib nusantara, bagai jokowi di ujung tanduk banteng
      • tanggung jawab umat
      • dki jakarta antisipasi bencana tiap hari
      • dunia atau manusia yang terbalik
      • kalau bangsa dan rakyat NKRI tidak kompak
      • Di NKRI surplus manusia hebat, pamer bego dibayar.
      • Mengokohkan Jati Diri Umat Islam
      • dilarangnya produksi miras di miniIndonesia
      • Antara mobnas dan mobMas
      • Memahami Makna Keluarga Islami
      • KETIKA NEGARA DIANGGAP SEBAGAI WARISAN
      • PSSI TUKAR TEMPAT DENGAN ANGKOT
      • Memutus Mata Rantai Korupsi
      • Besar Lagak Daripada Bincang
      • KITA BERINGSUT SURUT DAN SUSUT
      • Ketika Joko Widodo Memang Bukan George Edward Foreman
    • ►  Januari (49)
  • ►  2014 (467)
    • ►  Desember (55)
    • ►  November (49)
    • ►  Oktober (78)
    • ►  September (19)
    • ►  Agustus (48)
    • ►  Juli (44)
    • ►  Juni (38)
    • ►  Mei (20)
    • ►  April (22)
    • ►  Maret (12)
    • ►  Februari (38)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2013 (42)
    • ►  Desember (42)
  • ►  2012 (4)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)

Search

Pengikut

Daftar Blog Saya

  • .:: Tinta Emaz ::.
    Mahabbah (Mahabbatullah) (Part 14)
    1 tahun yang lalu
  • Salam Art
    Kemasan Nasi Box
    10 tahun yang lalu

Mengenai Saya

[HaéN]
Lihat profil lengkapku
Herwin Nur_http://herwinnur.blogspot.com_. Tema PT Keren Sekali. Gambar tema oleh fpm. Diberdayakan oleh Blogger.